Tuesday 11 January 2011

Resah...

Di manakah hatimu berlabuh, sayangku? Tidakkah kamu arahkan bidukmu ke ujung laut, ke sisi hatiku?

Ataukah, telah hilang sesapmu pada semua rasi dan kau kehilangan arah, di manakah hatimu berlabuh kini, sayangku? Kepayahan aku menunggui kedatanganmu.

Tidakkah telah kuujarkan kepadamu mengenai peta dan segala arah mata anginnya, oh kemanakah kau telah tersesat sayangku, saat ini?

Atau tidakkah kamu lihat burung-burung camar yang samar dalam serunainya yang terumbar. Atau telah pula semua teluh-teluh di ujung-ujung semenanjung menyumbat kelupingmu dan membuatmu tak lagi mendengar suaraku memanggil dirimu, oh di manakah hatimu kamu tambatkan kini sayangku?

Di manakah kamu terdampar saat ini, sayangku? Kata-kata telah meninggalkanku dalam senyap, aku hilang arah dan air mata menganak sungai, semua karena tak kutemukan dirimu di pelabuhanku, sayangku.

Atau, jikalau telah kamu temukan tempat lain baigmu melabuhkan diri, tak mengapa... Namun tak ada salahnyalah apabila kamu berkirim kabar melalui lekuk gelombang laut maupun gemulai kepak sayap pari.

Di manakah dirimu kini tertambat kiranya, sayangku? Gundah hati ini menanti...

Elektronika Lucifera

Sebentar, aku mau mengumpulkan tulang kaki perawan dua buah - tidak boleh dari perawan yang sama, serbuk kayu nangka tua secubitan, darah kucing tua sekarat yang belum menyentuh bumi, tiga ranting dahan randu, garam kasar segar dari samudera, air sumur dan lumutnya, empat lilin yg meleleh tidak lebih dari sebuku jari, tanah makam yang berumur persis empatpuluh tahun, fermentasi liur tokek raja sesendok makan, daging babi hutan yang tidak meronta saat diiris, dan rantai emas yang diambil dari leher laki-laki yang sebelumnya sudah dikencingi di hadapan rumah ibadah terdekat.

Kesemuanya akan kurebus dalam kuali besar, harus terbuat dari tembikar kualitas rendah, hingga airnya tinggal setengah. Kurebus sambil menyanyikan lagu setan, lagu bejat yang tertiup angin barat, tepat saat matahari mendarat.

Lalu aku akan menuangkan ramuan itu ke dalam botol-botol dengan label tulisan bidah, hinaan pada tuhan dan cercaan pada firman: Aksara-aksara purba yang terciptakan dari kebencian Qabil, kuno dan berbau apak nan menusuk adanya Ia, busuk, kau tahu? Tentu tidak. Sebab saat ini kau tengah mabuk nan tak kepayang, rasa berat nan menggerayang hingga kau kepayahan mengingat ini-itu.

Sebab,

Telah pula kubakar kertas dengan namamu pada permukaannya, lalu abunya kumasukkan terlebih dahulu ke dalam botol-botol itu, empat jumlahnya dan harus diisi hingga cukup isi kuali. Tidakkah kau merasa kupingmu berdenging? Itulah desir murka yang dihembus dahan-dahan kumal batang bambu. Itulah yang dibisikkan ke udara malam oleh burung hantu, dan itulah gegar timpani yang diciptakan anjing-anjing yang menggerutu.

Kau boleh mengataiku kafir suatu hari nanti saat kau temukan botol-botol itu di empat sudut rumahmu. Benar, aku menjadi heretik karena kamu. Maka kuperdalam kenistaan ini, kusematkan mukamu ke dalam tiap sembahyangku dan kuingat bahwa kau, adalah sumber kekafiranku.

Kau boleh meneriakiku hujat keras-keras pada telinga. Namun aku bahagia melihatmu berlari-lari dengan gila dan dengan seret kaki nan tak sempurna. Aku tertawa saat melihatmu membentur-benturkan kepalamu pada dinding (Aduhai, tidakkah kamu mendengar serunai di ujung sana? Itulah mantra-mantra, sayangku. Bolehkah kukecup keningmu?)

Kau boleh memanggil orang pintar untuk mengalahkan kutukanku. Namun orang itu akan dicucup darahnya dari kepala oleh jin jahat yang terbuat dari seluruh kebencian yang ada di sel tubuhku (Tidakkah kamu ingin menyetubuhiku saat ini? Tidakkah?)

Dan kesemuanya akan berakhir sesaat setelah kutambahkan darahku ke dalam ramuan (Lihatlah, orang-orang mati bangkit dari kuburnya untuk memberkahi upacaraku.)

Sebegitulah kebencianku, sayangku, padamu.



Life, As I Know It...

Mungkin tak relevan. Jika kukatakan aku takut kehilanganmu danbahwa itulah sebab aku merasa sedih di saat aku merasa senang akankeberhasilanmu, mungkin tak relevan. Ujung proses itu akan menjauhkanmu dariku,mungkin itu tak relevan...

Tapi hidup seperti yang kita tahu selalu bermuka dua,bagaimanapun...

Aku merasa tak pantas bersedih di saat kamu melangkah kepantaran selanjutnya namun, rasa takut dan sedih, sebagaimana hidup, selalubermuka dua. Selalu merupakan pisau bermata dua. Begitu tahu bahwa akan ada salah satu prosesi penting dalam hidupmu, kenangan, sayangku, mereka berkelebat satu-satu. Tidak diberinya spasi pada kepalaku sehingga hanya ada rasa sedih dan sungkan yang terbaca. Hidup, sebagaimana yang kutahu, selalu tak pernah adil. Dia memaksaku untuk memikirkan selalu yang buruk-buruk. 'Bagaimana dirikujikalau suatu hari dirimu pergi...?' 'Kemana aku akan bercerita, menjerit bahagia?' Hidup, bagiku, tak pernah terlalu indah tanpa dirimu. Hidupku, sebagaimana yang kutahu, selalu terisi mukamu. 'Bagaimana diriku akan menjadi apabila tak ada dirimu untukku berbagi kebodohan?'

Mungkin itu tak relevan... Bagimu, mungkin itu idot atau dangkal. Namun aku, sebagaimana aku mengenali diriku, hanya mencoba mendekati sisi posesivitas terdalam yang kupunya dan menenangkan sedihnya, sayangku.

Hidup, seperti yang kutahu, tak pernah selalu baik...

Tapi hidup, seperti yang hanya aku mengerti, telah menampakkanmu padaku. Maka teruskanlah hidupmu. Aku di sini saja menunggumu berbalik danberkata, "Hidup, sayangku, adalah kita..."



Memoar Malam di Bulan Mei

Hatiku tak dapat menatap mukamu. Muka sinis enam tahun di depan luka. Dan muka lugu yang juga percaya. Entah, tiba-tiba aku merasa gamang. Merasa goyang yang gelombang. Tiba-tiba aku kehilangan kepercayaan diri: satu bentengku telah hilang…

Kita, empat orang yang berpelukan di depan jalan, empat orang yang ‘sesat’, dan barangkali sesak, menjadi tunggal bergelimang sedih dan perih. Perihku membuat mati rasa… Tak tahu aku bagaimana dengan perihmu atau perih mereka. Tahukah, aku tak sanggup menahan air dari mata yang sedari tadi kutahan dengan sekuat tenaga. Susah payah kupikirkan segala baik dan terang kita. Susah payah kutanamkan segala legawa. Tapi kau jadi seperti tuba pada ikannya… Seperti cuka pada boroknya. Kau bilang kau yakin kita semua akan berhasil… Kau bilang kita semua akan tetap bertemu satu dengan lainnya. Aku kepingin tak percaya… Aku kepingin meninjumu pada muka dan berkata: kenapa harus berpisah kalau kita pada awalnya bertemu?

Tahukah, lukaku luka asam. Luka sedih campur kelam… Kehilangan satu benteng berarti banyak buatku yang paling rapuh di antara kita berempat… Aku marah. Aku murka. Sayangnya aku tak tahu kepada apa… Aku sayang… Dari dulu aku sayang pada dirimu dan juga pada mereka. Susah… Susah rasanya untuk tidak mengeluarkan air mata. Aku sedih… Rasanya seperti lapuk kayu yang dimakan laba-laba… Rasanya seperti kusam besi karena udara.

Seketika aku kosong… Seketika aku suwung… Rasa kosong yang melompong… Rasa capek yang luar biasa. Kau lihat histerisku yang kutahan? Kau lihat sedih yang tergambar dalam cembung air mataku? Kau lihat goyang dalam sempoyongku? KAU LIHAT, KAN, ANJING!!!

Kau sadar tak kubalas rangkul kalian? Kau sadar tak kuiyakan kalimat-kalimat positif kalian? Kau sadar, bahwa aku merasa menjadi satu-satunya yang bernuansa negatif sementara kalian begitu positif? Maaf, mungkin semua kulihat dari kacamataku yang berembun karena ingus. Tapi kau sadar? Kalian sadar?

Ini yang membuatku benci pada kalian. Ini yang membuatku benci bahkan pada tuhan. Enam tahun, demi ANJING!!! Enam tahun dan kau pergi… Berkelebatlah kenangan duka dan juga suka. Bergetarlah sel-sel otakku mengimpuls memori untuk mengulang lagi apa-apa yang kita lakukan dan lalui sama-sama… Dan semuanya tetap saja memberatkan dadaku hingga jebol tanggul rasaku dan hilang senangku… Seharusnya kita tak tertawa… Seharusnya kita tak bercanda bersama-sama – empat orang “laknat” yang kukira pastilah dikutuk tuhan…

“Karena mungkin kita akan berada di tempat yang sama jikalaupun ada yang namanya akhir dunia…”, tahukah kau maknanya untukku apa? “I don’t loveYou!”, kubilang begitu, ingat? “I don’t love YOU, but I Lust on YOU!!!” Tidak akan pernah kukatakan “AKU MENCINTAI KALIAN”! Tidak sekalipun dalam satu sekon di hidupku. Sebab memang aku tak pernah mencintai kalian… Aku memang pernah menyayangi kalian. Tapi sekarang, saat ini, “SAYANG” itu sudah jadi nafsu… Aku menaruh nafsuku pada kalian… Nafsu hidupku, nafsu matiku, nafsu rusak dan nafsu boyak-ku. Kalian tentu tahu nafsu itu apa, bukan?
Enam tahun… bukan waktu yang lama (saat ini mataku telah penuh dan hampir tumpah) Enam tahun… bukan sesuatu yang bakal gampang terlupa, bukan? (baik, saat ini mataku sudah tumpah, kuakui) Sekarang aku tak tahu apa yang sebetulnya ada dalam rasaku (saat ini papan ketikku sudah basah)… Segala palsu dan ragu: kalian tahu… Segala umpat dan cerca: kalian paham… Segala sinis dan ironis: kalian hapal…

Saat ini aku Cuma kepingin tidur… Membawa lukaku tenggelam dan menggiring sedihku akan kehilangan. Aku kepingin memeluk kalian… Tapi membalas peluk kuanggap mengiyakan akan kesendirian. Dan akupun yakin, wahai orang-orang ‘sesat’ yang kulaknat dengan sumpah sayangku, kalian pasti memahami itu. Sudahlah, aku cuma ingin memaki-maki tuhan saat ini. Aku cuma kepingin melempar tahi ke mukanya dan menendang kelaminnya… Aku cuma kepingin tidur, membawa isak lelap jauh ke dalam kenanganku…

Yogyakarta, 21 Mei 2009, 3:51 AM.

Luntur Hatiku

Sial...
Hatiku dimakan anai-anai
Digerogoti dari dalam dan dicerna enzimnya

Sial...
Hatiku disengat lipan
Dicengkeramnya kuat-kuat dan diisapnya sari-sarinya

Sial...
Hatiku ketumpahan asam
Diurainya jadi tua dan terkikislah ia jadinya

Sial...
Hatiku luntur terkena sedih
Diubahnya tak bernyawa dan ditelantarkannya aku merana...

Sial...

The Wailing Luci

Father in heaven. He who sits on his throne.
He who beholds the unfolds and he who drains the rivers.
Lift this burden out of my pain.
Lift this blindfold and carry my joy in.

Father in heaven. He who holds the scroll of time.
He who is benevolent in spirit and he who has the mercy on me.
Take my breath please away of my chances.
For it is yours so the pleasure could be all mine.

O, Father in heaven. He who sees the unseens and repels the mysteries.
Why, O why my Dearest.
Father in heaven. He who lets the tears shed out on the ground.
He who sets the glare and in fire i shall be.

Lindu, Namanya…

Ada naga di bawah tempat tinggalku. Telah lama kudengar ceritanya dari nenekku yang renta. Ceritanya amatlah sangat misterius. Gelap berselubung kabut. Berlumut.
Namun tak sedikitpun aku sempat menaruh kecurigaan terhadap kemungkinan yang sekeras karang di balik lumut yang bersarang. Dongeng itupun kulewatkan sebagai salah satu dari sekian banyak dinding ruang-ruang waktu kecilku.
Kata nenek naga itu sangatlah tua. Saking tuanya, sisiknya yang tajam berwarna abu. Iapun sangat panjang. Ekornya tertindas laut dan kepalanya diinjak gunung. Nenek pun berkata bahwa gunung dan laut adalah berguna merantai tubuh si naga jahat yang jumawa.
Namun aku tak juga mau percaya. Pelajaran Geografi memberitahuku bahwa tak ada makhluk hidup di bawah bumi. (Barangkali hanya di bawah tempat tinggalku.) - Selain cacing, dan juga curut.
Pelajaran Geografi adalah seseorang dengan pakaian yang rapi dilengkapi dasi dan manset emas cemerlang. Ia datang satu kali satu minggu untuk memberitahuku dan teman-temanku tentang lempeng-lempeng tanah yang berjalan. Tentang gunung-gunung dan parit-parit curam di laut. Tentang awan, langit, batu dan salju. Pelajaran Geografi adalah pribadi yang pintar.
Nenekku yang renta berkata, naga itu begitu purbanya. Lindu, namanya. Sudah lama Ia tertidur di dalam tanah. Terakhir ia terbangun dan menguap lalu menggeliat, belumlah aku pun lahir. Waktu kecil, ketika aku tengah bergurau dengan beberapa dari temanku, tanah kurasakan bergetar. Dan nenekku yang renta pun bersorak bergeluntur lalu berkata bahwa naga akan bangun. Tapi tak terjadi satu apapun. Tanah tak terbelah dan naga itu - Lindu, namanya - tak keluar. Nenek lalu bergumam: Ia sedang membenarkan badannya.
Tapi Pelajaran Geografi yang pintar meyakinkanku bahwa tak ada dan tidak akan pernah ada naga di bawah tanah - bahkan tidak di bawah tempat tinggalku.
Pagi ini aku melihatnya dengan mata berkerak sisa tidur lelap yang tergugah. Kasurku bergelombang dan tembok-tembok bergemuruh. Dia bangun: Nenekku berteriak sebelum ia mati tertimpa balok yang rapuh. Lalu aku melihatnya. Ia keluar dari tanah: Ekornya yang besar dan panjang menyeret sepertiga tanah di lautan, dan kepalanya yang busuk mengejutkan gunung. Ia bangun dan menguap lalu rayap ke utara. Aku masih bisa melihat kaki belakangnya saat Ia berpaling ke barat kemudian terbang ke sana. Ia ingin bertemu teman-temannya dan membangunkan mereka yang telah tertidur sama lamanya dengan dirinya. Dia, Lindu, namanya...


(Mengenang gelegar pada tiga jumlah tahun yang lalu: "Seperti kotak yang dikocok Setan"...)