Tuesday 11 January 2011

Stiletto

Keengganan dalam napasnya. Kelebat petir menyadarkan seketika. Menendang kembali ke kejam nyata. Langkahnya derap dan igaunya jenaka. Rasa darah yang menyublim dan rasa menang yang gulita.
Corak pulas bibir bertilas warna merah dan bekas gigi tergambar di bahunya. Bekas injak di telapak tak kalah riang dengan sisanya cupang di telinga. Racun kunang-kunang warna hijau di kornea dan hitam memar di kering tulang depan betis. Rasa mimpi yang gemerlap rasa curang yang pengap.
Kulihat dia melangkah samar-samar di dekat pintu kamar kecil. Kuintip kakinya yang pualam dari renggang dipan pegas yang telah kacau. Kakinya… Kaki boneka tanpa warna. Kaki laba-laba yang menari dalam surga… Kaki manekin yang tak kencing di kolam istana… Kukunya warna jingga. Warna yang kuhapal sebagai warna sakit yang panas dan semena-mena…
Kulihat dia mengenakan celana dalamnya yang sewarna dengan beha. Gambar matahari di pantatnya dan akar bunga di depannya. Kuncup tutup susunya warna kuning. Lainnya tak terpeta. Mataku mata lumpuh. Mata usang kena tampar sepuluh kali penuh…
Kakinya kini berbalut sepatu. Sepatu tinggi sebab haknya telah jungkit. Sepatu nakal yang tembus ke usus dan membuang air mataku. Sepatu ungu yang menampung kaki warna salju. Kulihat ia melipat selimut. Menaikkan bantal ke tempatnya dan mendengus suka-suka. Sepatunya bergelentang dalam hajar pada lantai. Sepatunya warna ungu. Warna subuh masih abu-abu.
Dilihatnya aku dalam mata yang sengkarut. Cara benci yang utama, cara sedih kapan-kapan saja. Dihisapnya rokok itu dan ditebarnya abu. Seperti menuang lumba-lumba dan loncat-loncat kura-kura… Dilihatnya aku dengan lilin di kepala dan tanduk pada ujung tulang ekornya. Sepatunya naik ke dipan dan tangannya kepal setengah sementara warna subuh masih abu-abu…
Mukaku muka lusuh aku tahu. Muka sampah di tendang dia yang kakinya kaki laba-laba. Kaki sintal yang sengketa. Kaki murka Kalidurga. Sepatunya sepatu ungu. Sepatu jungkit lebah ratu. Sepatu madu ketika tahu. Sepatu tajam yang palsu. Ujungnya kini ada di dadaku. Masuk sedikit di antara rusuk. Megap-megap adalah tamu. Senyap sedih dinding batu. Kakinya kaki dingin. Kaki habis dipakai licin… Kaki dingin dicuci air. Kaki dengki di jaman akhir.
Cincin perak di pipiku. Tinju mentah di perutku. Telapak sepatu di selangkanganku. Rambut lengket karena ingus. Bibir bengkak kena berangus. Titit pucat kena rebus. Lidah kebas diisap terus. Berak cokelat sepuluh senti di lantai. Dadanya turun lalu naik. Rambutnya kibas anak kuda. Hidungnya basah-basah luka.
Pipi ditusuk dengan jarum. Tembus ke mulut yang mengaum. Darah tumpah tak mengucur. Darah sumpah terkulum. Penat sudah ia bermain. Aku pun lelah bukan main. Jika ini rasanya sakit, sejuta pun kuambil sebab dengannya aku terkait.
Mukaku lusuh dibelai tangan. Tangan beku, kuku warna sembilu. Sudah kubilang mataku mata usang. Mata sembab dipancang belang. Dirokoknya lagi batang itu. Lalu mendelik seperti ular. Lalu mendesis seperti iblis. Suara mobil di luar kamar, suara kiamat diujung petang. Suara sepatu kaki laba-laba, suara sepatu ungu takkan kulupa.
Rasa lilin dalam ludah. Rasa sebah dalam lucah. Rasa gagap yang terpecah. Rasa gamang yang kusembah. Bau parfum dekat ketiak. Bau tangis hendak teriak. Bau hengkang dalam serak. Bau amis di tiap gerak. Kepalaku seperti gendang. Berbunyi dengang ngiang-ngiang. Nyeri sangat dalam igaku. Perih bulat biji pelirku. Ngilu gigi kena tinju. Pilu hati tak menentu.
Warna subuh telah kuning. Warna pulang ke rumah hening. Esok lusa ia kembali. Dengan sepatu ungu tanpa tali.

No comments:

Post a Comment