Tuesday 11 January 2011

Lindu, Namanya…

Ada naga di bawah tempat tinggalku. Telah lama kudengar ceritanya dari nenekku yang renta. Ceritanya amatlah sangat misterius. Gelap berselubung kabut. Berlumut.
Namun tak sedikitpun aku sempat menaruh kecurigaan terhadap kemungkinan yang sekeras karang di balik lumut yang bersarang. Dongeng itupun kulewatkan sebagai salah satu dari sekian banyak dinding ruang-ruang waktu kecilku.
Kata nenek naga itu sangatlah tua. Saking tuanya, sisiknya yang tajam berwarna abu. Iapun sangat panjang. Ekornya tertindas laut dan kepalanya diinjak gunung. Nenek pun berkata bahwa gunung dan laut adalah berguna merantai tubuh si naga jahat yang jumawa.
Namun aku tak juga mau percaya. Pelajaran Geografi memberitahuku bahwa tak ada makhluk hidup di bawah bumi. (Barangkali hanya di bawah tempat tinggalku.) - Selain cacing, dan juga curut.
Pelajaran Geografi adalah seseorang dengan pakaian yang rapi dilengkapi dasi dan manset emas cemerlang. Ia datang satu kali satu minggu untuk memberitahuku dan teman-temanku tentang lempeng-lempeng tanah yang berjalan. Tentang gunung-gunung dan parit-parit curam di laut. Tentang awan, langit, batu dan salju. Pelajaran Geografi adalah pribadi yang pintar.
Nenekku yang renta berkata, naga itu begitu purbanya. Lindu, namanya. Sudah lama Ia tertidur di dalam tanah. Terakhir ia terbangun dan menguap lalu menggeliat, belumlah aku pun lahir. Waktu kecil, ketika aku tengah bergurau dengan beberapa dari temanku, tanah kurasakan bergetar. Dan nenekku yang renta pun bersorak bergeluntur lalu berkata bahwa naga akan bangun. Tapi tak terjadi satu apapun. Tanah tak terbelah dan naga itu - Lindu, namanya - tak keluar. Nenek lalu bergumam: Ia sedang membenarkan badannya.
Tapi Pelajaran Geografi yang pintar meyakinkanku bahwa tak ada dan tidak akan pernah ada naga di bawah tanah - bahkan tidak di bawah tempat tinggalku.
Pagi ini aku melihatnya dengan mata berkerak sisa tidur lelap yang tergugah. Kasurku bergelombang dan tembok-tembok bergemuruh. Dia bangun: Nenekku berteriak sebelum ia mati tertimpa balok yang rapuh. Lalu aku melihatnya. Ia keluar dari tanah: Ekornya yang besar dan panjang menyeret sepertiga tanah di lautan, dan kepalanya yang busuk mengejutkan gunung. Ia bangun dan menguap lalu rayap ke utara. Aku masih bisa melihat kaki belakangnya saat Ia berpaling ke barat kemudian terbang ke sana. Ia ingin bertemu teman-temannya dan membangunkan mereka yang telah tertidur sama lamanya dengan dirinya. Dia, Lindu, namanya...


(Mengenang gelegar pada tiga jumlah tahun yang lalu: "Seperti kotak yang dikocok Setan"...)

No comments:

Post a Comment