Tuesday 11 January 2011

Lament

Bukan,
Bukan aku tidak menghargaimu sebagai saudara apabila kutinggal dirimu bahkan tanpa memelukmu. (Itu malam terakhirmu, aku tahu.)
Tapi lagi…
Lagi semuanya terjadi…
Padahal, sudah susah payah kucoba merajut teguh hingga kuharap malam itu bisa memandang mukamu dengan berani.
Tapi lagi…
Lagi semuanya terjadi…
Lagi air mata itu semerbak dan lagi hatiku serasa lompong. Dan lagi… Lagi aku merasa layu. Seperti hujan yang jatuh dalam lubang hitam. Seperti galaksi yang hancur dalam kelam. Lagi akupun lari dari kenyataan – tipikalku, bukan…
Kalian sepertinya tahu apa yang kulakukan bila suatu hari berat adalah satu dalam rasa dan sesak menghujatku dengan duka.: Lari dan mengeluh…
Ketika hidup menancapkan sengatnya, kurasa aku yang paling lembek jadinya, Sayang-sayang-ku…
Kurasa aku yang paling lunak selunak kapas yang tercelup dalam air panas…

Kau, ya Kau, perempuan jahanam! Perempuan satu neraka denganku: Kita adalah dua yang berhadapa-hadapan. Kau di ujung dunia, aku di sudut satunya. Kau begitu Mega-Nalar. Kau begitu Ultra-logika. Kau begitu Hiper-Estimasi. (Lupakah kalau kubilang bahwa kau begitu Pond’s?)
Kau begitu positif dan berenergi sementara aku di ujung satunya lemas dengan pesimis dan hitam tak bertenaga.
Aku paham kalau kau berada di salah satu lembah terdalam dalam hidupmu. Tapi jangan pernah kau bilang, aduhai Iblis, teman sepermainanku, bahwa kau takkan bangun lagi dan menghujam mulut-mulut yang meremehkanmu. Mata-mata yang melihat dengan sebelah jauh ke dalam dirimu. Jangan pernah kau bilang tak ada lagi energi untukmu bersinar. Ingat, Iblis terindah sepanjang masa adalah Ia yang lekat dengan Venus: Ia yang Cemerlang sehingga tuhan menjadi cemburu dan membuat cerita agar Ia yang Menyala tertendang keluar dari surga dengan tanduk di kepala dan sayap kelelawar di punggungnya. Kau, ya Kau, Perempuan jahanam! Bila tak lagi mau kau bersinar, kepada siapa aku bisa bersandar, tolol! Tidak, jangan kau artikan dirimu sebatas dinding buatku. Ya memang kau adalah dinding buatku. Tapi maknamu, makna historismu (tidakkah ini mengingatkanmu pada pembicaraan mengenai Lukisan tempo itu?), makna literalmu dan makna dari segala maknamu buatku ada setara dengan Tembok Ratapan orang Yahudi. Adalah setara dengan makna Tembok Berlin yang ditakuti banyak orang sehingga diruntuhkan atas nama unifikasi dan persaudaraan. Kau, ya Kau, Perempuan jahanam! Perempuan Gila yang dengannya kutitipkan kepercayaan atas tak stabilnya jiwaku sendiri. Kau boleh berada di titik terendah dalam hidupmu. Kau boleh merasa nyaman dan enak di liang keterpurukanmu – selama yang kau mau. Tapi ingat, kau harus cepat bangun dan kembali mendaki sumur itu. Sebab tanpa kecemerlangan ke-Iblisan-mu, apa dayaku melihat matahari? Apa dayaku menemukan jalanku sendiri? Kau! Ya Kau Perempuan Jahanam! (Belumkah kau paham artinya dirimu bagiku? Belumkah kau lihat cintaku padamu? Belumkah kau tahu bahwa keterpurukanmu berbalik sepuluh kali lipat efeknya padaku? Belumkah kau sadar?)

Dan Kau! Yak Kau! Oh, Tidak… Jangan gunakan kacamatamu untuk sembunyi, imbesil! Kau. Seenaknya saja pergi! Lupakah apabila pada kenyataannya kita telah enam – demi tuhan – tahun mengenal satu sama lain? Aku masih ingat hari-hari yang kuhabiskan di dalam kamarmu pada awal kuliahku. Aku masih ingat pada kenangan saat aku membawa makanan berlimpah untuk kita bertiga – Kau; Dia, si perempuan Jahanam; dan Aku. Lupakah? Kau bilang kau menemukan kenyamanan ketika mengenal kami – yang kau juluki Iblis… Tapi kenapa sekarang dadaku rasanya sakit melihatmu pergi? Tapi kenapa aku tak berbahagia melihatmu begitu jauh? Kau, ya Kau, Iblis Imbesil! Kau mengajarkanku menjadi sinis – entah itu karena sinisme telah memiliki benih dalam hidupku, atau memang kau yang menanamnya di kemuian hari… Kau memberi contoh yang sempurna bagiku untuk menjadi orisinil – (atau orisinal? Mbuh!) Kau membuat percaya diriku menciut sedemikian hingga dengan kecerdasanmu yang bahkan bukan artifisial. Kau membuat nyaliku serasa kecut asam saat kelupaan adalah bermakna dan kekhilafan menjadi satu-satunya yang kupunya. Kau membuatku merasa memiliki kamus. Memiliki ensiklopedia. Terperangah melihatmu sebegitu tertariknya dengan hal-hal yang kukira hanya kau yang memiliki ketertarikan terhadapnya. Kau, ya Kau! Sialan, sana buang kacamatamu sebab aku mau melihat keeping-keping itu keluar dari matamu! Kau yang dengan pola pikirmu yang sederhana bisa membuatku merasa kepingin bunuh diri – setelah membunuhmu , tentunya. Kau yang kesempurnaan zodiakmu terujud dalam setiap perbuatan dan tercermin dalam tiap laku katamu. Anjing! Sana, pergi! Sana! Hus! Aku tak sudi melihatmu lagi kecuali ada hal baru yang bisa kau perlihatkan padaku ketika nanti kita bertemu lagi. Sana pergi. (Frasa terakhir seharusnya diucapkan bergetar. Tapi kalimat-kalimat memiliki kekurangan yang tersendiri saat diminta untuk mencerminkan perasaan dan gerak emosi, bukan?) Tapi bukan… Bukan karena aku tak menghargaimu sebagai saudara apabila kutinggalkan kau di pinggir jalan tanpa pelukan selamat tinggal atau sekedar tatapan sampai jumpa. Bukan… Bukan itu… Kata orang, aku tak dapat dimengerti… Apa boleh buat? Aku pun sama tak mengertinya dengan mereka bila semua berkisar tentang apa sebenarnya yang kulakukan. Banyak hal yang kulakukan dengan dasar ketidakmengertianku-pada-diriku-sendiri, dan tindakannku meninggalkanmu malam itu salah satunya. Bukan… Bukan karena kau kuanggap tak berharga… Bukan…

Dan Kau! Lepas topengmu! Kau tahu, topengmu gagal! Personamu tak mampu meutupi hal sebenarnya, Bajingan! Kau gagal besar. Gagal total. Gagal. Kita berempat tahu yang sebenarnya, Tapi tak apa. Menutupi yang sebenarnya adalah sifat terdasar yang harus dimiliki tiap Iblis, bukan? Untuk itu kau lulus uji. Sekarang maumu apa? Mengungkapkan apa yang ada saja kau tak bisa, padahal kau berniat untuk itu. Sungguh menyedihkan! Tapi tak apa. Kau tetap kusayang sebab walau bagaimanapun Iblis tetaplah Iblis, kan sayang? Tak ada Iblis yang lebih andal apabila Ia hanya seorang. Tidakpun Ia Asmoday. Kau tahu Asmoday? Tidak juga dengan Samael. Kau tahu Samael? Ianya adalah Malaikat yang Beracun. Ia yang menyeret sepertiga tata surya jatuh ke dunia. Ia yang mengawal pintu pada surga yang kelima. Oh, sungguh Ianya yang kupuja. Dan kau tahu tentang Lucifer? Ialah yang dengan Lilith, sang pendosa yang meninggalkan Adam dengan tanak birahi lalu usang, memiliki ratusan Lilin-Lilin – Mereka yang menebar teror di muka bumi dan mengenalkan manusia pada ketakutan mereka yang pertama. Dan, aduhai, tahukah kau dengan Azazel? Ialah yang menjadi pemimpin dua ratus malaikat yang berdosa dan mengintimi wanita-wanita di dunia. Mengenalkan mereka pada tata rias di muka dan membuat mereka jatuh pada satu dari tujuh dosa yang mulia: Kesombongan. Lihat? Hanya dengan kau aku bisa berkhotbah begini panjang: Tentang setan dan Iblis. Sebab mungkin hanya padamu aku bisa mengungkapkan kekagumanku pada Iblis. Pada figur yang tercampak dari Surga dan dengannya menjadi anggunlah segalanya. Yang dengan keangkuhannya Ia menjadi sesuatu yang amat sangat terlalu kupuja. Orang lain tak mungkin mengerti – bahkan mencibir dan mencerca. Tapi aku tak mau tahu asal kau bisa mendengarku bercerita walau tanpa tanggapan balik yang serupa. Aku hanya nyaman. Dan tak satu cibiranpun bisa mengalahkan kenyamananku bercerita dengan Kau!.

Sekarang aku merasa sendiri. Kawan-kawanku telah satu-satu beranjak pergi sehingga neraka ini berasa sepi.

Bukan… Bukan karena tak kuanggap dirimu saudaraku apabila kutinggalkan dirimu di jalan itu. Bukan… Bukan itu…

Tapi ada suatu ke-takterjelaskan yang kurasa sehingga barangkali pergi adalah satu-satunya pengobat yang amat manjurnya.

Bukan… Bukan karena aku tak menyayangi kalian apabila tak kupeluk kalian di malam terakhir kita lengkap semua. Bukan… Bukan itu... Tapi ada rasa keterasingan (tidakkah kata ini mengusik seseorang?) yang membuatku sebah dan mual. Ada rasa keterjerembaban yang luka dan membelit. Bukan… Bukan karena tak kuanggap dirimu saudara… Bukan… Bukan itu…

Tapi lagi…
Lagi kekosongan menjadi raja dan kehampaan membuatku lupa pada luap yang utama. Pada bahagia yang seharusnya ada. Pada ketertarikan yang ruah dan pada keceriaan yang seharusnya…
Lagi kesedihan menancapkan kukunya… Dan lagi aku terluka….

Bukan…
Bukan aku tak sayang kalian…Bukan…

No comments:

Post a Comment