Tuesday 11 January 2011

Diabolikal

Bahkan ujarku terkerat saat lidahku bergetar mengikuti huruf-huruf tanganmu, Yang Mulia. Huruf-huruf yang berpendar saat sekalipun Ia tak dikejar… Huruf-huruf yang menata dirinya sendiri serupa mantera mengawang dalam kepala sang Pandita. Yang merajuk hingga getir. Yang Melesak hingga sampir.

Bahkan liurku mengering melihat berapa juta kunang-kunang menyerpih dan melepuh dalam simpuku. Kunang-kunang rasa gembira. Kunang-kunang lupa segala. Aku mabuk huruf-huruf… Aku mabuk abjad. Gamang dahsyat. Mabuk rutin yang geliat. Langit hijau tanpa matahari, Sayang. Langit senang saat kita lahir sebagai Iblis yang sempurna. Iblis yang senang makan gula-gula. Gula-gula manusia. Yang dipanggang Tuhan kita dan disuruhnya kita memakannya.

Bahkan nalarku yang tak seberapa lupa pada dirinya melihat huruf-huruf yang kau keluarkan dari tanganmu, Sayangku, Iblis sepermainanku… Serahim-Tuhanku… Dirimu memang Mega-Nalar. Mega-Meta-Nalar. Ruap benih yang sengkarut dari kepalamu kuteguk hingga tandas dan liang mulutmu mengharap lebih dari apa yang kupunya… Maka, mari kita berpesta di atas kepala manusia-manusia celaka, Sayang-Sayangku… Mari kita mabuk abjad sambil senggama. Sambil lupa pada dunia. Sambil suka pada dosa.

Mari mabuk, Sayang-Sayangku… Mari keluar dari dinding neraka kita. Bawa nekara itu. Bawa mayat itu. Kita akan membutuhkannya dalam semadi manusia. Bawa rasa cinta untuk khilaf pada renung manusia. Pada relung batin mereka. Pada keterjagaan mereka di pagi-pagi sembahyang mereka. Pada cinta mereka pada Bapa kita.

Bahkan lidahku terbelah jadi tiga saat kubaca mantera yang kau tulis pada cermin retakmu – seperti aku menulis hujat pada cermin buramku. Kau tebar horor sensual pada mimpi-mimpi basah pertama sang pujangga. Kau tegakkan batang lingga-ku dan kau luapkan erotika pada sekujur prasasti kekhusyukkanku. Kau ganggu ritualku, Sayangku. Kau tarik aku pada asketis-ku yang semestinya - Salahkah kita menjadi Iblis, Sayang-Sayangku?

Bahkan mataku menganak sungai mendengar litani puja-pujimu, Sayangku. Serapahmu pada malam. Rintihmu pada surgawi. Kembali aku teringat saat-saat kita menyerap warna bulan. Merengkuh yang selama ini terlarang. Menggoda manusia pada sesat mereka. Mencari siapa yang pantas untuk Tuhan kita dan siapa yang tak patut untuk-Nya.

Bahkan sihirku tak mampu menghadapi manteramu, Sayangku… Apa yang kau telah lakukan padaku?

Bahkan mulutku berkarat, Sayang-Sayangku…

Mari kita mabuk bersama. Menghabiskan segala puja-puja pada tabik agung huruf-huruf. Serta segala dengung yang datangnya dari neraka. Geram suci yang niscaya akan membuat kita semua semakin kuat pada apa yang seharusnya menjadi tugas kita.

Mari kita mabuk dunia, Sayang-Sayangku. Mabuk ganas atas mantera. Mabuk orgia yang sama-kuna dengan diri kita tepat di atas manusia. Mari, Sayang-Sayangku… Duduklah kita pada bawah batang randu yang tuanya telah tak terkira dengan segelas darah untuk kita, dan daging manusia santapannya, lalu mari kita baca mantera pada cermin buram dan retak kita masing-masing, untuk kemudian kita menatap satu sama lain dan meraung sama-sama pada rembulan… Pada lautan dan pepohonan… Pada hitam dan kegelapan…

No comments:

Post a Comment