Tuesday 11 January 2011

Resah...

Di manakah hatimu berlabuh, sayangku? Tidakkah kamu arahkan bidukmu ke ujung laut, ke sisi hatiku?

Ataukah, telah hilang sesapmu pada semua rasi dan kau kehilangan arah, di manakah hatimu berlabuh kini, sayangku? Kepayahan aku menunggui kedatanganmu.

Tidakkah telah kuujarkan kepadamu mengenai peta dan segala arah mata anginnya, oh kemanakah kau telah tersesat sayangku, saat ini?

Atau tidakkah kamu lihat burung-burung camar yang samar dalam serunainya yang terumbar. Atau telah pula semua teluh-teluh di ujung-ujung semenanjung menyumbat kelupingmu dan membuatmu tak lagi mendengar suaraku memanggil dirimu, oh di manakah hatimu kamu tambatkan kini sayangku?

Di manakah kamu terdampar saat ini, sayangku? Kata-kata telah meninggalkanku dalam senyap, aku hilang arah dan air mata menganak sungai, semua karena tak kutemukan dirimu di pelabuhanku, sayangku.

Atau, jikalau telah kamu temukan tempat lain baigmu melabuhkan diri, tak mengapa... Namun tak ada salahnyalah apabila kamu berkirim kabar melalui lekuk gelombang laut maupun gemulai kepak sayap pari.

Di manakah dirimu kini tertambat kiranya, sayangku? Gundah hati ini menanti...

Elektronika Lucifera

Sebentar, aku mau mengumpulkan tulang kaki perawan dua buah - tidak boleh dari perawan yang sama, serbuk kayu nangka tua secubitan, darah kucing tua sekarat yang belum menyentuh bumi, tiga ranting dahan randu, garam kasar segar dari samudera, air sumur dan lumutnya, empat lilin yg meleleh tidak lebih dari sebuku jari, tanah makam yang berumur persis empatpuluh tahun, fermentasi liur tokek raja sesendok makan, daging babi hutan yang tidak meronta saat diiris, dan rantai emas yang diambil dari leher laki-laki yang sebelumnya sudah dikencingi di hadapan rumah ibadah terdekat.

Kesemuanya akan kurebus dalam kuali besar, harus terbuat dari tembikar kualitas rendah, hingga airnya tinggal setengah. Kurebus sambil menyanyikan lagu setan, lagu bejat yang tertiup angin barat, tepat saat matahari mendarat.

Lalu aku akan menuangkan ramuan itu ke dalam botol-botol dengan label tulisan bidah, hinaan pada tuhan dan cercaan pada firman: Aksara-aksara purba yang terciptakan dari kebencian Qabil, kuno dan berbau apak nan menusuk adanya Ia, busuk, kau tahu? Tentu tidak. Sebab saat ini kau tengah mabuk nan tak kepayang, rasa berat nan menggerayang hingga kau kepayahan mengingat ini-itu.

Sebab,

Telah pula kubakar kertas dengan namamu pada permukaannya, lalu abunya kumasukkan terlebih dahulu ke dalam botol-botol itu, empat jumlahnya dan harus diisi hingga cukup isi kuali. Tidakkah kau merasa kupingmu berdenging? Itulah desir murka yang dihembus dahan-dahan kumal batang bambu. Itulah yang dibisikkan ke udara malam oleh burung hantu, dan itulah gegar timpani yang diciptakan anjing-anjing yang menggerutu.

Kau boleh mengataiku kafir suatu hari nanti saat kau temukan botol-botol itu di empat sudut rumahmu. Benar, aku menjadi heretik karena kamu. Maka kuperdalam kenistaan ini, kusematkan mukamu ke dalam tiap sembahyangku dan kuingat bahwa kau, adalah sumber kekafiranku.

Kau boleh meneriakiku hujat keras-keras pada telinga. Namun aku bahagia melihatmu berlari-lari dengan gila dan dengan seret kaki nan tak sempurna. Aku tertawa saat melihatmu membentur-benturkan kepalamu pada dinding (Aduhai, tidakkah kamu mendengar serunai di ujung sana? Itulah mantra-mantra, sayangku. Bolehkah kukecup keningmu?)

Kau boleh memanggil orang pintar untuk mengalahkan kutukanku. Namun orang itu akan dicucup darahnya dari kepala oleh jin jahat yang terbuat dari seluruh kebencian yang ada di sel tubuhku (Tidakkah kamu ingin menyetubuhiku saat ini? Tidakkah?)

Dan kesemuanya akan berakhir sesaat setelah kutambahkan darahku ke dalam ramuan (Lihatlah, orang-orang mati bangkit dari kuburnya untuk memberkahi upacaraku.)

Sebegitulah kebencianku, sayangku, padamu.



Life, As I Know It...

Mungkin tak relevan. Jika kukatakan aku takut kehilanganmu danbahwa itulah sebab aku merasa sedih di saat aku merasa senang akankeberhasilanmu, mungkin tak relevan. Ujung proses itu akan menjauhkanmu dariku,mungkin itu tak relevan...

Tapi hidup seperti yang kita tahu selalu bermuka dua,bagaimanapun...

Aku merasa tak pantas bersedih di saat kamu melangkah kepantaran selanjutnya namun, rasa takut dan sedih, sebagaimana hidup, selalubermuka dua. Selalu merupakan pisau bermata dua. Begitu tahu bahwa akan ada salah satu prosesi penting dalam hidupmu, kenangan, sayangku, mereka berkelebat satu-satu. Tidak diberinya spasi pada kepalaku sehingga hanya ada rasa sedih dan sungkan yang terbaca. Hidup, sebagaimana yang kutahu, selalu tak pernah adil. Dia memaksaku untuk memikirkan selalu yang buruk-buruk. 'Bagaimana dirikujikalau suatu hari dirimu pergi...?' 'Kemana aku akan bercerita, menjerit bahagia?' Hidup, bagiku, tak pernah terlalu indah tanpa dirimu. Hidupku, sebagaimana yang kutahu, selalu terisi mukamu. 'Bagaimana diriku akan menjadi apabila tak ada dirimu untukku berbagi kebodohan?'

Mungkin itu tak relevan... Bagimu, mungkin itu idot atau dangkal. Namun aku, sebagaimana aku mengenali diriku, hanya mencoba mendekati sisi posesivitas terdalam yang kupunya dan menenangkan sedihnya, sayangku.

Hidup, seperti yang kutahu, tak pernah selalu baik...

Tapi hidup, seperti yang hanya aku mengerti, telah menampakkanmu padaku. Maka teruskanlah hidupmu. Aku di sini saja menunggumu berbalik danberkata, "Hidup, sayangku, adalah kita..."



Memoar Malam di Bulan Mei

Hatiku tak dapat menatap mukamu. Muka sinis enam tahun di depan luka. Dan muka lugu yang juga percaya. Entah, tiba-tiba aku merasa gamang. Merasa goyang yang gelombang. Tiba-tiba aku kehilangan kepercayaan diri: satu bentengku telah hilang…

Kita, empat orang yang berpelukan di depan jalan, empat orang yang ‘sesat’, dan barangkali sesak, menjadi tunggal bergelimang sedih dan perih. Perihku membuat mati rasa… Tak tahu aku bagaimana dengan perihmu atau perih mereka. Tahukah, aku tak sanggup menahan air dari mata yang sedari tadi kutahan dengan sekuat tenaga. Susah payah kupikirkan segala baik dan terang kita. Susah payah kutanamkan segala legawa. Tapi kau jadi seperti tuba pada ikannya… Seperti cuka pada boroknya. Kau bilang kau yakin kita semua akan berhasil… Kau bilang kita semua akan tetap bertemu satu dengan lainnya. Aku kepingin tak percaya… Aku kepingin meninjumu pada muka dan berkata: kenapa harus berpisah kalau kita pada awalnya bertemu?

Tahukah, lukaku luka asam. Luka sedih campur kelam… Kehilangan satu benteng berarti banyak buatku yang paling rapuh di antara kita berempat… Aku marah. Aku murka. Sayangnya aku tak tahu kepada apa… Aku sayang… Dari dulu aku sayang pada dirimu dan juga pada mereka. Susah… Susah rasanya untuk tidak mengeluarkan air mata. Aku sedih… Rasanya seperti lapuk kayu yang dimakan laba-laba… Rasanya seperti kusam besi karena udara.

Seketika aku kosong… Seketika aku suwung… Rasa kosong yang melompong… Rasa capek yang luar biasa. Kau lihat histerisku yang kutahan? Kau lihat sedih yang tergambar dalam cembung air mataku? Kau lihat goyang dalam sempoyongku? KAU LIHAT, KAN, ANJING!!!

Kau sadar tak kubalas rangkul kalian? Kau sadar tak kuiyakan kalimat-kalimat positif kalian? Kau sadar, bahwa aku merasa menjadi satu-satunya yang bernuansa negatif sementara kalian begitu positif? Maaf, mungkin semua kulihat dari kacamataku yang berembun karena ingus. Tapi kau sadar? Kalian sadar?

Ini yang membuatku benci pada kalian. Ini yang membuatku benci bahkan pada tuhan. Enam tahun, demi ANJING!!! Enam tahun dan kau pergi… Berkelebatlah kenangan duka dan juga suka. Bergetarlah sel-sel otakku mengimpuls memori untuk mengulang lagi apa-apa yang kita lakukan dan lalui sama-sama… Dan semuanya tetap saja memberatkan dadaku hingga jebol tanggul rasaku dan hilang senangku… Seharusnya kita tak tertawa… Seharusnya kita tak bercanda bersama-sama – empat orang “laknat” yang kukira pastilah dikutuk tuhan…

“Karena mungkin kita akan berada di tempat yang sama jikalaupun ada yang namanya akhir dunia…”, tahukah kau maknanya untukku apa? “I don’t loveYou!”, kubilang begitu, ingat? “I don’t love YOU, but I Lust on YOU!!!” Tidak akan pernah kukatakan “AKU MENCINTAI KALIAN”! Tidak sekalipun dalam satu sekon di hidupku. Sebab memang aku tak pernah mencintai kalian… Aku memang pernah menyayangi kalian. Tapi sekarang, saat ini, “SAYANG” itu sudah jadi nafsu… Aku menaruh nafsuku pada kalian… Nafsu hidupku, nafsu matiku, nafsu rusak dan nafsu boyak-ku. Kalian tentu tahu nafsu itu apa, bukan?
Enam tahun… bukan waktu yang lama (saat ini mataku telah penuh dan hampir tumpah) Enam tahun… bukan sesuatu yang bakal gampang terlupa, bukan? (baik, saat ini mataku sudah tumpah, kuakui) Sekarang aku tak tahu apa yang sebetulnya ada dalam rasaku (saat ini papan ketikku sudah basah)… Segala palsu dan ragu: kalian tahu… Segala umpat dan cerca: kalian paham… Segala sinis dan ironis: kalian hapal…

Saat ini aku Cuma kepingin tidur… Membawa lukaku tenggelam dan menggiring sedihku akan kehilangan. Aku kepingin memeluk kalian… Tapi membalas peluk kuanggap mengiyakan akan kesendirian. Dan akupun yakin, wahai orang-orang ‘sesat’ yang kulaknat dengan sumpah sayangku, kalian pasti memahami itu. Sudahlah, aku cuma ingin memaki-maki tuhan saat ini. Aku cuma kepingin melempar tahi ke mukanya dan menendang kelaminnya… Aku cuma kepingin tidur, membawa isak lelap jauh ke dalam kenanganku…

Yogyakarta, 21 Mei 2009, 3:51 AM.

Luntur Hatiku

Sial...
Hatiku dimakan anai-anai
Digerogoti dari dalam dan dicerna enzimnya

Sial...
Hatiku disengat lipan
Dicengkeramnya kuat-kuat dan diisapnya sari-sarinya

Sial...
Hatiku ketumpahan asam
Diurainya jadi tua dan terkikislah ia jadinya

Sial...
Hatiku luntur terkena sedih
Diubahnya tak bernyawa dan ditelantarkannya aku merana...

Sial...

The Wailing Luci

Father in heaven. He who sits on his throne.
He who beholds the unfolds and he who drains the rivers.
Lift this burden out of my pain.
Lift this blindfold and carry my joy in.

Father in heaven. He who holds the scroll of time.
He who is benevolent in spirit and he who has the mercy on me.
Take my breath please away of my chances.
For it is yours so the pleasure could be all mine.

O, Father in heaven. He who sees the unseens and repels the mysteries.
Why, O why my Dearest.
Father in heaven. He who lets the tears shed out on the ground.
He who sets the glare and in fire i shall be.

Lindu, Namanya…

Ada naga di bawah tempat tinggalku. Telah lama kudengar ceritanya dari nenekku yang renta. Ceritanya amatlah sangat misterius. Gelap berselubung kabut. Berlumut.
Namun tak sedikitpun aku sempat menaruh kecurigaan terhadap kemungkinan yang sekeras karang di balik lumut yang bersarang. Dongeng itupun kulewatkan sebagai salah satu dari sekian banyak dinding ruang-ruang waktu kecilku.
Kata nenek naga itu sangatlah tua. Saking tuanya, sisiknya yang tajam berwarna abu. Iapun sangat panjang. Ekornya tertindas laut dan kepalanya diinjak gunung. Nenek pun berkata bahwa gunung dan laut adalah berguna merantai tubuh si naga jahat yang jumawa.
Namun aku tak juga mau percaya. Pelajaran Geografi memberitahuku bahwa tak ada makhluk hidup di bawah bumi. (Barangkali hanya di bawah tempat tinggalku.) - Selain cacing, dan juga curut.
Pelajaran Geografi adalah seseorang dengan pakaian yang rapi dilengkapi dasi dan manset emas cemerlang. Ia datang satu kali satu minggu untuk memberitahuku dan teman-temanku tentang lempeng-lempeng tanah yang berjalan. Tentang gunung-gunung dan parit-parit curam di laut. Tentang awan, langit, batu dan salju. Pelajaran Geografi adalah pribadi yang pintar.
Nenekku yang renta berkata, naga itu begitu purbanya. Lindu, namanya. Sudah lama Ia tertidur di dalam tanah. Terakhir ia terbangun dan menguap lalu menggeliat, belumlah aku pun lahir. Waktu kecil, ketika aku tengah bergurau dengan beberapa dari temanku, tanah kurasakan bergetar. Dan nenekku yang renta pun bersorak bergeluntur lalu berkata bahwa naga akan bangun. Tapi tak terjadi satu apapun. Tanah tak terbelah dan naga itu - Lindu, namanya - tak keluar. Nenek lalu bergumam: Ia sedang membenarkan badannya.
Tapi Pelajaran Geografi yang pintar meyakinkanku bahwa tak ada dan tidak akan pernah ada naga di bawah tanah - bahkan tidak di bawah tempat tinggalku.
Pagi ini aku melihatnya dengan mata berkerak sisa tidur lelap yang tergugah. Kasurku bergelombang dan tembok-tembok bergemuruh. Dia bangun: Nenekku berteriak sebelum ia mati tertimpa balok yang rapuh. Lalu aku melihatnya. Ia keluar dari tanah: Ekornya yang besar dan panjang menyeret sepertiga tanah di lautan, dan kepalanya yang busuk mengejutkan gunung. Ia bangun dan menguap lalu rayap ke utara. Aku masih bisa melihat kaki belakangnya saat Ia berpaling ke barat kemudian terbang ke sana. Ia ingin bertemu teman-temannya dan membangunkan mereka yang telah tertidur sama lamanya dengan dirinya. Dia, Lindu, namanya...


(Mengenang gelegar pada tiga jumlah tahun yang lalu: "Seperti kotak yang dikocok Setan"...)

Dari Lingkaran Sigil ke Empat: Skolopendrus

Semalam ada Setan masuk kamarku.
Kakinya seratus dan matanya setengah meletus.
Entah berapa lama ia duduk di belakang tubuhku dan duduk di atas bantal kesayanganku namun ia segera menutup mukanya begitu kupalingkan mukaku ke arahnya - menurutnya, menutup muka akan menghapus fisiknya dari mataku.
Tapi ternyata tidak. Taktik itu tak mempan padaku.
Bergegas kubuat lingkaran garam di sekelilingku dan segitiga tanah makam di sekelilingnya lalu kusambungkan lingkaranku dan segitiganya dengan benang kasur 55 milimeter diameternya.
Ia pun bangun dan memandangku. Matanya kuning kisut dan kakinya menggapai-gapai.
Kupukul kepalanya dengan palu tembaga dan ternyata kepalanya kepala agar-agar... Otaknya transparan dan ganglionnya sewarna perak - seharusnya otak dan ganglion tak pernah ada secara bersama...
Kutusuk kulitnya dengan jarum yang diseduh air raksa dan menggeliatlah ia sebab itu terasa seperti bara olehnya. Namun aku tetap santai sebab segitiga tanah makam adalah rantai yang lebih kuat dari rantai berbahan baja. Sebab Setan ini takkan bisa diikat apapun selain dengan tanah orang mati.
Di tengah engah yang gagap, diutarakannya niatnya: Kutawarkan keabadian padamu bila saja kau mau memintanya padaku. Silahkan kau siksa aku tapi ada ratusan jenisku di luar sana yang akan terus datang padamu dan memberimu momen untuk hidup selalu...

Semalam ada Setan masuk kamarku.
Kakinya seratus dan matanya setengah mendengus...
Kulipat tanganku dan kukernyitkan wajahku dalam upaya memahami teror ini.
: "Kutawarkan keabadian padamu hanya apabila hidup selamanya itulah yang kau damba."
Kukira hidup selamanya akan menjadi sesuatu yang menarik untuk diriku.
Maka kuhapus lingkaran garamku dan kupotong segitiga tanah makamnya. Lalu hilanglah ia menjadi kabut tebal yang melingkupiku untuk kemudian dibawanya aku ke bawah keterjagaan.

Semalam ada Setan masuk kamarku...
Kakinya seratus dan diberinya aku kehidupan yang terus menerus...

Kesurupan Tuhan

Aku kepingin dengan cepat dapat menemukan cara menjadi kesurupan dalam sepuluh saja hitungan hari...
Aku kepingin dalam ekstase ketika cuaca telah menjadi lindap dan siang telah surup dan saat bintang-bintang menjadi tak benar dalam hitungan sehingga ketidakseimbangan menjadi penuh maknanya dalam ambang kesadaran...
Aku kepingin dengan cepat merasa darah yg mengalir dalam tangan dan nyeri pada tulang belakang...
Atau juga pada ujung atas tengkukku yang satu.
Aku kepingin menjadi kesurupan dalam waktu sepuluh saja hitungan harinya...
menjadi mengerti tentang yg tak semestinya dan menjamah sesuatu yang tak seharusnya...
ketika hatiku telah batu dan ragaku telah tahu...
saat itulah akan kubagikan padamu eksotika kesurupan tuhan yang pertama...
saat itulah kuajarkan tentang semesta...

Aku kepingin kesurupan...

Kesurupan Tuhan...

Orpheus

Maukah menemaniku ke alam baka?
Hatiku tertinggal di sana...
Maukah menemaniku mengambilnya?
Hatiku akan sedih di sana...

Galaktus, Bapaku… Apa Rasanya Memakan Galaksi?

Katakan padaku, Bapa... Apa rasanya memakan galaksi?
Apakah rasanya tersangkut gelegar? Apakah rasanya puas tak bernama?
Katakan padaku, Bapa... Apa rasanya memamah galaksi untuk kehidupanmu?
Sebab aku pun ingin mencicipi sebuah planet...
Namun memiliki sepersekian kemampuanmu cukup kurasa, Bapaku...

Apa rasanya memakan galaksi, Bapaku?
Mencarut pada langit dan melepuh pada kaki, menyayat nadi pun aku sudi Bapa. Namun ajarkan padaku memakan galaksi...
Aku mau sepertimu Bapa:
Mengaduk rasi, memindahkan Mri Chika dengan Antares di dada...
Mematahkan Betelgeuse jadi tiga, melipat Spica jadi kecil sekutu di muka...
Berapa yang harus kubayarkan untuk memakan galaksi sepertimu, Bapa...?

Apa rasanya memakan galaksi, Bapa?
Aku terasa ingin tahu... Terbit liur melihatmu menyantapnya.
Apa rasanya, Bapaku?

Persephone

Mau kupinjam rasanya bahumu...
Mau kupakai menangis sebab dinding adalah dingin dan kerontang adalah jantungku...
Mau kupinjam rasanya susumu...
Mau kubenamkan isakku pada ujungnya dan kugigit lehermu untuk gembira...
Mau kupinjam rasanya kulitmu...
Mau kututup tubuhku dengannya dan kurendam dukaku pada darahmu...
Mau kupinjam rasanya tuhanmu...
Mau kupakai untuk mengganti hilang senggamaku dan menjadi tenang hidupku...

Cthulhu

Aku akan bernyanyi pada bulan yang tinggi di angkasa.
Aku akan bernyanyi tentang mantra yang akan menghentikan masa dan membuat lautan di hadapanku bergolak memnyambut kedatangannya.
Aku akan bernyanyi tentang mimpi-mimpi dari kejauhan. Aku akan duduk bersila lalu bernyanyi tentang langkah kakinya yang menenggelamkan pelabuhan. Memuji teror yang tersaji di belakang kemunculannya. Memujanya dengan sembahyang khusyuk pada bulan yang mengiringi jalannya.
Aku akan bernyanyi tentang hari-hari sihir di mana ia akan datang yang akan mengundang sakit pada orang-orang yang menutup pintu saat ia hadir bersama kabut dari teluk dan rimis dari tanjung.
Ia adalah dewaku. Kepada siapa aku selama ini memusatkan tenaga dan berucap sihir demi mengundannya hadir ke semesta. Ialah satu dari Mereka yang tertua dan yang teragung.
Dengan kepalanya yang moluska purba ia menatap pada orang-orang yang khianat dan berhenti memujanya. Dengan lengan-lengannya ia mengambili para pendosa. Dengan cakarnya yang agung dihukumnya orang-orang tersebut.
Ialah dewaku. Yang kupuja dengan sembah dan hati yang rendah. Ialah yang abadi. Yang telah ada sebelum kala mengenal manusia. Ia, bersama saudara-saudaranya yang tua dan agung, datang dari bintang untuk dipuja dan mengatur dunia. Mereka tak berdaging tak berdarah namun terbentuk dari materi yang sama sekali tak terdapat di bumi kita.
Mereka berkelana dari satu dunia ke dunia lainnya manakala gemintang berada pada posisi yang sebenarnya dan lalu bila itu tak terjadi, bila bintang tak benar pada posisi, mereka akan tertidur. Menunggu saat yang benar bagi mereka untuk bangun dan mengembalikan kekuasaan mereka pada semesta. Mereka akan kembali pada dunia dan mengajari kita, para manusia, jalan mereka: Kebebasan. Kebebasan dari hukum-hukum dan norma-norma yang melelahkan dan memakan korban. Saat itulah, saat kekuasaan mereka kembali, dunia akan terbakar dalam api ekstasi dan kebebasan...
Aku akan bernyanyi pada rembulan.
Memanggil-manggil nama tuanku yang kuasa dan menyuruhnya kembali berjumawa.

Lihat! Samudera berputar dan langit menghitam. Mantraku telah didengarnya. Ia telah terbangun dan dengannya terbangun pula para pengawalnya yang hebat dan kuat. Mereka yang membangun kota suci R’lyeh bagi sang raja namun tenggelam ke dalam laut sehingga membawa mereka ke istirahat panjang yang membosankan. Saatnya bangun, yang mulia! Saatnya kembali berkuasa.
Gelombang air yang menembok merupakan tanda geliatnya. Lelah akibat pertapaan berabad-abad akan segera berakhir. Aku tak pernah mengira akan sehebat ini kebangkitannya. Hari sebenarnya adalah malam namun dengan kuasanya, ia merobek langit sehingga matahari dan bulan serta bintang terlihat begitu saja dengan ketelanjangan pada mata. Ia membuat jagat raya tertegun hingga sebuah bintang jatuh berhenti pada posisinya dan matahari meredup. Sekilas kukira hari akan kiamat sebab cahaya tak lagi ada artinya. Angkasa luas membentang di atasku dan genuruh yang luar biasa pada laut di bawahku. Karang tempatku berpijak bergetar. Dunia menyiapkan diri menyambut kehadiran tuanku.
Tangan itu menyembul dari tengah air yang berpusar. Dengan cakarnya yang agung ia akan menghukum para pendosa. Orang-orang tak sempat berteriak sebab kesima telah menjadi raja di dalam hati mereka.
Tangan itu semakin panjang keluar dari air ketika kulanjutkan panjat mantraku dengan gumam yang halus dan ritmis.

Ia telah keluar sepenuhnya dari air.

Senyumku senyum puas. Kepalanya basah dengan satu mata tersembul. Dengan matanya ia menatap pada orang-orang yang khianat padanya. Namun aku tak pernah khianat. Aku selalu setia. Tubuhnya sebesar gunung, liat dan bersisik. Kepalanya kepala marah gurita dan tentakelnya yang menari-nari di dagunya mengagapai-gapai menyecap udara kebebasan. Kabut mengelilinginya sebagai gaun kebesaran sang baginda raja. Ia menatap ke arah pelabuhan dan serta merta air laut menyerbu ke sana dan menyeret kembali apa yang disapunya. Aku mencium bau darah. Bau takut yang membara.
Aku di sini, tuan sesembahanku yang mulia. Berkuasalah lagi engkau yang kuasa. Yang maha kuat dan maha segalanya. Tugasku telah selesai, tuan. Aku ingin menuju ke kotamu di bawah sana. Menjemput kemuliaan sebagai hadiah yang telah kau sertakan dalam janjimu pada orang yang tunduk dan menyembahmu. Bawalah aku, tuan, dalam kejayaan yang akan segera kau tapaki. Dalam kepekatan teror pada pendosa. Hukumlah mereka, tuan. Hukumlah!
Tuanku itu menoleh ke arah karang yang kujadikan tempat tapaku sedari tadi. Terus menerus kulafalkan mantra sehingga ucapan-ucapan sihir itu mengambang di udara dan melingkupi tubuhku. Seutas tentakelnya melambai dan air laut naik setinggi badannya yang segunung. Aku berdiri dan menambah level pujianku sebab inilah yang kutunggu: undangan ke kotanya yang akan segera bangkit. Aku tak pernah lupa bahwa air adalah kekuasaan tuanku.
Tembok air itu makin mendekat dan karenanya kuangkat tanganku tinggi-tinggi dengan doa pada mulut. Lalu yang kurasakan hanya dingin. Hanya asin. Dalam gulungan air, bayangan tuanku terpapar. Ia masih berdiri di tengah sana namun tampaknya ia sedang bersiap menuju ke tanah. Ia bersiap mengambil apa yang dulu pernah dimilikinya.
Air laut membawaku ke laut dalam. Itu dia! Kota batu suci tempat tuanku selama ini semayam. Gelombang dan tekanan mendorongku terus ke bawah. Namun bukan ke kota yang sedang bangkit ke permukaan tersebut aku mengarah. Aku terjun ke arah palung yang dalam. Tuanku, mengapa tak kau biarkan aku menjadi penghuni kota sucimu? Tuanku...

Lafal mantraku hilang dalam gelembung. Kakinya, kaki besar tuanku telah terngkat. Ia telah berjalan... Aku senang tuanku telah kembali dan akan berkuasa. Meski aku takkan pernah menjadi penghuni kota sucinya. Berkuasalah lagi engkau, tuanku. Dewa yang kusembah dengan puji dan doa...

Lamentation of Cetaceans

Ke laut dalam mataku tenggelam
Berkait kalang para hantu masa lalu
Hijau sesak hitam gelak
Resah tersebab melupa dan kencang nadinya
Lebam dadaku racun darahku
Bergulung buih berendam gurih
Aku lupa menjadi manusia
Aku lupa rasa gembira
Aku lupa rasa udara
Ke laut dalam mataku tenggelam
Terasa sedih, lalu larut dalam lembam
Lukaku luka salju
Luka dingin tak berbaju
Cekatku cekat madu
Cekat suka tapi ragu
Ke laut dalam jiwaku berenang
Dengan ratap dan sakit pada tulang…

Kepayang

Rinai hujan sebar.
Bulan kuning menangis.
Renyai kilat getar.
Bulan sabit berbau iblis.

Kutikam bulan kusayat langit.
Kuburu siluman, jerejak mayit.
Kusulam tilam kujahit payah.
Kuteguk diam, hatiku susah...

Stiletto

Keengganan dalam napasnya. Kelebat petir menyadarkan seketika. Menendang kembali ke kejam nyata. Langkahnya derap dan igaunya jenaka. Rasa darah yang menyublim dan rasa menang yang gulita.
Corak pulas bibir bertilas warna merah dan bekas gigi tergambar di bahunya. Bekas injak di telapak tak kalah riang dengan sisanya cupang di telinga. Racun kunang-kunang warna hijau di kornea dan hitam memar di kering tulang depan betis. Rasa mimpi yang gemerlap rasa curang yang pengap.
Kulihat dia melangkah samar-samar di dekat pintu kamar kecil. Kuintip kakinya yang pualam dari renggang dipan pegas yang telah kacau. Kakinya… Kaki boneka tanpa warna. Kaki laba-laba yang menari dalam surga… Kaki manekin yang tak kencing di kolam istana… Kukunya warna jingga. Warna yang kuhapal sebagai warna sakit yang panas dan semena-mena…
Kulihat dia mengenakan celana dalamnya yang sewarna dengan beha. Gambar matahari di pantatnya dan akar bunga di depannya. Kuncup tutup susunya warna kuning. Lainnya tak terpeta. Mataku mata lumpuh. Mata usang kena tampar sepuluh kali penuh…
Kakinya kini berbalut sepatu. Sepatu tinggi sebab haknya telah jungkit. Sepatu nakal yang tembus ke usus dan membuang air mataku. Sepatu ungu yang menampung kaki warna salju. Kulihat ia melipat selimut. Menaikkan bantal ke tempatnya dan mendengus suka-suka. Sepatunya bergelentang dalam hajar pada lantai. Sepatunya warna ungu. Warna subuh masih abu-abu.
Dilihatnya aku dalam mata yang sengkarut. Cara benci yang utama, cara sedih kapan-kapan saja. Dihisapnya rokok itu dan ditebarnya abu. Seperti menuang lumba-lumba dan loncat-loncat kura-kura… Dilihatnya aku dengan lilin di kepala dan tanduk pada ujung tulang ekornya. Sepatunya naik ke dipan dan tangannya kepal setengah sementara warna subuh masih abu-abu…
Mukaku muka lusuh aku tahu. Muka sampah di tendang dia yang kakinya kaki laba-laba. Kaki sintal yang sengketa. Kaki murka Kalidurga. Sepatunya sepatu ungu. Sepatu jungkit lebah ratu. Sepatu madu ketika tahu. Sepatu tajam yang palsu. Ujungnya kini ada di dadaku. Masuk sedikit di antara rusuk. Megap-megap adalah tamu. Senyap sedih dinding batu. Kakinya kaki dingin. Kaki habis dipakai licin… Kaki dingin dicuci air. Kaki dengki di jaman akhir.
Cincin perak di pipiku. Tinju mentah di perutku. Telapak sepatu di selangkanganku. Rambut lengket karena ingus. Bibir bengkak kena berangus. Titit pucat kena rebus. Lidah kebas diisap terus. Berak cokelat sepuluh senti di lantai. Dadanya turun lalu naik. Rambutnya kibas anak kuda. Hidungnya basah-basah luka.
Pipi ditusuk dengan jarum. Tembus ke mulut yang mengaum. Darah tumpah tak mengucur. Darah sumpah terkulum. Penat sudah ia bermain. Aku pun lelah bukan main. Jika ini rasanya sakit, sejuta pun kuambil sebab dengannya aku terkait.
Mukaku lusuh dibelai tangan. Tangan beku, kuku warna sembilu. Sudah kubilang mataku mata usang. Mata sembab dipancang belang. Dirokoknya lagi batang itu. Lalu mendelik seperti ular. Lalu mendesis seperti iblis. Suara mobil di luar kamar, suara kiamat diujung petang. Suara sepatu kaki laba-laba, suara sepatu ungu takkan kulupa.
Rasa lilin dalam ludah. Rasa sebah dalam lucah. Rasa gagap yang terpecah. Rasa gamang yang kusembah. Bau parfum dekat ketiak. Bau tangis hendak teriak. Bau hengkang dalam serak. Bau amis di tiap gerak. Kepalaku seperti gendang. Berbunyi dengang ngiang-ngiang. Nyeri sangat dalam igaku. Perih bulat biji pelirku. Ngilu gigi kena tinju. Pilu hati tak menentu.
Warna subuh telah kuning. Warna pulang ke rumah hening. Esok lusa ia kembali. Dengan sepatu ungu tanpa tali.

Lament

Bukan,
Bukan aku tidak menghargaimu sebagai saudara apabila kutinggal dirimu bahkan tanpa memelukmu. (Itu malam terakhirmu, aku tahu.)
Tapi lagi…
Lagi semuanya terjadi…
Padahal, sudah susah payah kucoba merajut teguh hingga kuharap malam itu bisa memandang mukamu dengan berani.
Tapi lagi…
Lagi semuanya terjadi…
Lagi air mata itu semerbak dan lagi hatiku serasa lompong. Dan lagi… Lagi aku merasa layu. Seperti hujan yang jatuh dalam lubang hitam. Seperti galaksi yang hancur dalam kelam. Lagi akupun lari dari kenyataan – tipikalku, bukan…
Kalian sepertinya tahu apa yang kulakukan bila suatu hari berat adalah satu dalam rasa dan sesak menghujatku dengan duka.: Lari dan mengeluh…
Ketika hidup menancapkan sengatnya, kurasa aku yang paling lembek jadinya, Sayang-sayang-ku…
Kurasa aku yang paling lunak selunak kapas yang tercelup dalam air panas…

Kau, ya Kau, perempuan jahanam! Perempuan satu neraka denganku: Kita adalah dua yang berhadapa-hadapan. Kau di ujung dunia, aku di sudut satunya. Kau begitu Mega-Nalar. Kau begitu Ultra-logika. Kau begitu Hiper-Estimasi. (Lupakah kalau kubilang bahwa kau begitu Pond’s?)
Kau begitu positif dan berenergi sementara aku di ujung satunya lemas dengan pesimis dan hitam tak bertenaga.
Aku paham kalau kau berada di salah satu lembah terdalam dalam hidupmu. Tapi jangan pernah kau bilang, aduhai Iblis, teman sepermainanku, bahwa kau takkan bangun lagi dan menghujam mulut-mulut yang meremehkanmu. Mata-mata yang melihat dengan sebelah jauh ke dalam dirimu. Jangan pernah kau bilang tak ada lagi energi untukmu bersinar. Ingat, Iblis terindah sepanjang masa adalah Ia yang lekat dengan Venus: Ia yang Cemerlang sehingga tuhan menjadi cemburu dan membuat cerita agar Ia yang Menyala tertendang keluar dari surga dengan tanduk di kepala dan sayap kelelawar di punggungnya. Kau, ya Kau, Perempuan jahanam! Bila tak lagi mau kau bersinar, kepada siapa aku bisa bersandar, tolol! Tidak, jangan kau artikan dirimu sebatas dinding buatku. Ya memang kau adalah dinding buatku. Tapi maknamu, makna historismu (tidakkah ini mengingatkanmu pada pembicaraan mengenai Lukisan tempo itu?), makna literalmu dan makna dari segala maknamu buatku ada setara dengan Tembok Ratapan orang Yahudi. Adalah setara dengan makna Tembok Berlin yang ditakuti banyak orang sehingga diruntuhkan atas nama unifikasi dan persaudaraan. Kau, ya Kau, Perempuan jahanam! Perempuan Gila yang dengannya kutitipkan kepercayaan atas tak stabilnya jiwaku sendiri. Kau boleh berada di titik terendah dalam hidupmu. Kau boleh merasa nyaman dan enak di liang keterpurukanmu – selama yang kau mau. Tapi ingat, kau harus cepat bangun dan kembali mendaki sumur itu. Sebab tanpa kecemerlangan ke-Iblisan-mu, apa dayaku melihat matahari? Apa dayaku menemukan jalanku sendiri? Kau! Ya Kau Perempuan Jahanam! (Belumkah kau paham artinya dirimu bagiku? Belumkah kau lihat cintaku padamu? Belumkah kau tahu bahwa keterpurukanmu berbalik sepuluh kali lipat efeknya padaku? Belumkah kau sadar?)

Dan Kau! Yak Kau! Oh, Tidak… Jangan gunakan kacamatamu untuk sembunyi, imbesil! Kau. Seenaknya saja pergi! Lupakah apabila pada kenyataannya kita telah enam – demi tuhan – tahun mengenal satu sama lain? Aku masih ingat hari-hari yang kuhabiskan di dalam kamarmu pada awal kuliahku. Aku masih ingat pada kenangan saat aku membawa makanan berlimpah untuk kita bertiga – Kau; Dia, si perempuan Jahanam; dan Aku. Lupakah? Kau bilang kau menemukan kenyamanan ketika mengenal kami – yang kau juluki Iblis… Tapi kenapa sekarang dadaku rasanya sakit melihatmu pergi? Tapi kenapa aku tak berbahagia melihatmu begitu jauh? Kau, ya Kau, Iblis Imbesil! Kau mengajarkanku menjadi sinis – entah itu karena sinisme telah memiliki benih dalam hidupku, atau memang kau yang menanamnya di kemuian hari… Kau memberi contoh yang sempurna bagiku untuk menjadi orisinil – (atau orisinal? Mbuh!) Kau membuat percaya diriku menciut sedemikian hingga dengan kecerdasanmu yang bahkan bukan artifisial. Kau membuat nyaliku serasa kecut asam saat kelupaan adalah bermakna dan kekhilafan menjadi satu-satunya yang kupunya. Kau membuatku merasa memiliki kamus. Memiliki ensiklopedia. Terperangah melihatmu sebegitu tertariknya dengan hal-hal yang kukira hanya kau yang memiliki ketertarikan terhadapnya. Kau, ya Kau! Sialan, sana buang kacamatamu sebab aku mau melihat keeping-keping itu keluar dari matamu! Kau yang dengan pola pikirmu yang sederhana bisa membuatku merasa kepingin bunuh diri – setelah membunuhmu , tentunya. Kau yang kesempurnaan zodiakmu terujud dalam setiap perbuatan dan tercermin dalam tiap laku katamu. Anjing! Sana, pergi! Sana! Hus! Aku tak sudi melihatmu lagi kecuali ada hal baru yang bisa kau perlihatkan padaku ketika nanti kita bertemu lagi. Sana pergi. (Frasa terakhir seharusnya diucapkan bergetar. Tapi kalimat-kalimat memiliki kekurangan yang tersendiri saat diminta untuk mencerminkan perasaan dan gerak emosi, bukan?) Tapi bukan… Bukan karena aku tak menghargaimu sebagai saudara apabila kutinggalkan kau di pinggir jalan tanpa pelukan selamat tinggal atau sekedar tatapan sampai jumpa. Bukan… Bukan itu… Kata orang, aku tak dapat dimengerti… Apa boleh buat? Aku pun sama tak mengertinya dengan mereka bila semua berkisar tentang apa sebenarnya yang kulakukan. Banyak hal yang kulakukan dengan dasar ketidakmengertianku-pada-diriku-sendiri, dan tindakannku meninggalkanmu malam itu salah satunya. Bukan… Bukan karena kau kuanggap tak berharga… Bukan…

Dan Kau! Lepas topengmu! Kau tahu, topengmu gagal! Personamu tak mampu meutupi hal sebenarnya, Bajingan! Kau gagal besar. Gagal total. Gagal. Kita berempat tahu yang sebenarnya, Tapi tak apa. Menutupi yang sebenarnya adalah sifat terdasar yang harus dimiliki tiap Iblis, bukan? Untuk itu kau lulus uji. Sekarang maumu apa? Mengungkapkan apa yang ada saja kau tak bisa, padahal kau berniat untuk itu. Sungguh menyedihkan! Tapi tak apa. Kau tetap kusayang sebab walau bagaimanapun Iblis tetaplah Iblis, kan sayang? Tak ada Iblis yang lebih andal apabila Ia hanya seorang. Tidakpun Ia Asmoday. Kau tahu Asmoday? Tidak juga dengan Samael. Kau tahu Samael? Ianya adalah Malaikat yang Beracun. Ia yang menyeret sepertiga tata surya jatuh ke dunia. Ia yang mengawal pintu pada surga yang kelima. Oh, sungguh Ianya yang kupuja. Dan kau tahu tentang Lucifer? Ialah yang dengan Lilith, sang pendosa yang meninggalkan Adam dengan tanak birahi lalu usang, memiliki ratusan Lilin-Lilin – Mereka yang menebar teror di muka bumi dan mengenalkan manusia pada ketakutan mereka yang pertama. Dan, aduhai, tahukah kau dengan Azazel? Ialah yang menjadi pemimpin dua ratus malaikat yang berdosa dan mengintimi wanita-wanita di dunia. Mengenalkan mereka pada tata rias di muka dan membuat mereka jatuh pada satu dari tujuh dosa yang mulia: Kesombongan. Lihat? Hanya dengan kau aku bisa berkhotbah begini panjang: Tentang setan dan Iblis. Sebab mungkin hanya padamu aku bisa mengungkapkan kekagumanku pada Iblis. Pada figur yang tercampak dari Surga dan dengannya menjadi anggunlah segalanya. Yang dengan keangkuhannya Ia menjadi sesuatu yang amat sangat terlalu kupuja. Orang lain tak mungkin mengerti – bahkan mencibir dan mencerca. Tapi aku tak mau tahu asal kau bisa mendengarku bercerita walau tanpa tanggapan balik yang serupa. Aku hanya nyaman. Dan tak satu cibiranpun bisa mengalahkan kenyamananku bercerita dengan Kau!.

Sekarang aku merasa sendiri. Kawan-kawanku telah satu-satu beranjak pergi sehingga neraka ini berasa sepi.

Bukan… Bukan karena tak kuanggap dirimu saudaraku apabila kutinggalkan dirimu di jalan itu. Bukan… Bukan itu…

Tapi ada suatu ke-takterjelaskan yang kurasa sehingga barangkali pergi adalah satu-satunya pengobat yang amat manjurnya.

Bukan… Bukan karena aku tak menyayangi kalian apabila tak kupeluk kalian di malam terakhir kita lengkap semua. Bukan… Bukan itu... Tapi ada rasa keterasingan (tidakkah kata ini mengusik seseorang?) yang membuatku sebah dan mual. Ada rasa keterjerembaban yang luka dan membelit. Bukan… Bukan karena tak kuanggap dirimu saudara… Bukan… Bukan itu…

Tapi lagi…
Lagi kekosongan menjadi raja dan kehampaan membuatku lupa pada luap yang utama. Pada bahagia yang seharusnya ada. Pada ketertarikan yang ruah dan pada keceriaan yang seharusnya…
Lagi kesedihan menancapkan kukunya… Dan lagi aku terluka….

Bukan…
Bukan aku tak sayang kalian…Bukan…

Diabolikal

Bahkan ujarku terkerat saat lidahku bergetar mengikuti huruf-huruf tanganmu, Yang Mulia. Huruf-huruf yang berpendar saat sekalipun Ia tak dikejar… Huruf-huruf yang menata dirinya sendiri serupa mantera mengawang dalam kepala sang Pandita. Yang merajuk hingga getir. Yang Melesak hingga sampir.

Bahkan liurku mengering melihat berapa juta kunang-kunang menyerpih dan melepuh dalam simpuku. Kunang-kunang rasa gembira. Kunang-kunang lupa segala. Aku mabuk huruf-huruf… Aku mabuk abjad. Gamang dahsyat. Mabuk rutin yang geliat. Langit hijau tanpa matahari, Sayang. Langit senang saat kita lahir sebagai Iblis yang sempurna. Iblis yang senang makan gula-gula. Gula-gula manusia. Yang dipanggang Tuhan kita dan disuruhnya kita memakannya.

Bahkan nalarku yang tak seberapa lupa pada dirinya melihat huruf-huruf yang kau keluarkan dari tanganmu, Sayangku, Iblis sepermainanku… Serahim-Tuhanku… Dirimu memang Mega-Nalar. Mega-Meta-Nalar. Ruap benih yang sengkarut dari kepalamu kuteguk hingga tandas dan liang mulutmu mengharap lebih dari apa yang kupunya… Maka, mari kita berpesta di atas kepala manusia-manusia celaka, Sayang-Sayangku… Mari kita mabuk abjad sambil senggama. Sambil lupa pada dunia. Sambil suka pada dosa.

Mari mabuk, Sayang-Sayangku… Mari keluar dari dinding neraka kita. Bawa nekara itu. Bawa mayat itu. Kita akan membutuhkannya dalam semadi manusia. Bawa rasa cinta untuk khilaf pada renung manusia. Pada relung batin mereka. Pada keterjagaan mereka di pagi-pagi sembahyang mereka. Pada cinta mereka pada Bapa kita.

Bahkan lidahku terbelah jadi tiga saat kubaca mantera yang kau tulis pada cermin retakmu – seperti aku menulis hujat pada cermin buramku. Kau tebar horor sensual pada mimpi-mimpi basah pertama sang pujangga. Kau tegakkan batang lingga-ku dan kau luapkan erotika pada sekujur prasasti kekhusyukkanku. Kau ganggu ritualku, Sayangku. Kau tarik aku pada asketis-ku yang semestinya - Salahkah kita menjadi Iblis, Sayang-Sayangku?

Bahkan mataku menganak sungai mendengar litani puja-pujimu, Sayangku. Serapahmu pada malam. Rintihmu pada surgawi. Kembali aku teringat saat-saat kita menyerap warna bulan. Merengkuh yang selama ini terlarang. Menggoda manusia pada sesat mereka. Mencari siapa yang pantas untuk Tuhan kita dan siapa yang tak patut untuk-Nya.

Bahkan sihirku tak mampu menghadapi manteramu, Sayangku… Apa yang kau telah lakukan padaku?

Bahkan mulutku berkarat, Sayang-Sayangku…

Mari kita mabuk bersama. Menghabiskan segala puja-puja pada tabik agung huruf-huruf. Serta segala dengung yang datangnya dari neraka. Geram suci yang niscaya akan membuat kita semua semakin kuat pada apa yang seharusnya menjadi tugas kita.

Mari kita mabuk dunia, Sayang-Sayangku. Mabuk ganas atas mantera. Mabuk orgia yang sama-kuna dengan diri kita tepat di atas manusia. Mari, Sayang-Sayangku… Duduklah kita pada bawah batang randu yang tuanya telah tak terkira dengan segelas darah untuk kita, dan daging manusia santapannya, lalu mari kita baca mantera pada cermin buram dan retak kita masing-masing, untuk kemudian kita menatap satu sama lain dan meraung sama-sama pada rembulan… Pada lautan dan pepohonan… Pada hitam dan kegelapan…

Dengan Matahari di Mulutku aduhai, dengan Keping Manis di Mulutku…

Dengan matahari di mulutku, aduhai, dengan matahari di mulutku... Dan juga dengan ratap gadis-gadis lautan... Dan juga dengan jariku terselip di antara lidah-lidah kelu...
Dengan sedih pada bola mataku... aduhai, dengan sedih pada keluhku... lamat-lamat rasa senduku... lamat-lamat rasa keringku kelambu.
Dengan rembulan pada genggamku, aduhai dengan bintang-bintang di mahkotaku... Dengan sutra kelamku aduhai, dengan rayap tubuhku...
Dengan letihku aduhai, dengan kusut masaiku... Dengan kacauku aduhai dengan lemahku... Segalanya tak lagi sempurna, aduhai, tak lagi sama...
Seperti kusta pada tua... Lariku kepada takut. Seperti lupa pada mabukku. Kepada kelabu dan jinggaku. Kepada kerling perak aduhai, kepada cerlang emas...
Dengan matahari di mulutku, aduhai dengan tenaga menguatkanku... Selaput itu aduhai, semerbak itu...
Dengan kalajengking di kakiku aduhai, dengan sakit perih pada jengatku... Dengan racau pada bulu mataku... Dengan getar ujung jariku aduhai, dengan cakar betisku.
Dengan bingungku, aduhai dengan layuku... Pusingku ragu-ragu... Penatku jadi satu...
kepingin turun air mataku aduhai, kepingin menangis rasanya aku...
Kepingin kugores kembali tanganku aduhai, kepingin mati sepertinya aku...
Alamatku jadi batu, jadi letus pada malam-malam kelabu.
Dengan Jupiter di mataku aduhai besarnya planet itu...
Dengan matahari di mulutku aduhai, dengan sembab pada kelenjarku... Dengan perih di gendang telingaku aduhai dengan denting pada hidupku... Aku kepingin mati sepertinya... Namun dengan matahari di mulutku aduhai, dengan keping rasa manis di lidahku...

Heretika

Hitam...
Gelap malam telah meraja dan mataku telah lelah. Namun sedetik menjelang aku memejam, warna kelam di hadapanku bergolak lalu memusar pada satu titik. Menusuk masuk ke dalam keningku yang berkeringat. Nadiku berdenyut, sementara hatiku berdentang lima kali. Lelah luar biasa namun ada rasa sendu yang merasuk. Meresap pada humus jiwaku. Meninggalkan memar-memar duka.

Terbangun dengan telungkup pada tanah bukanlah suatu hal yang mengenakkan. Sekujur sendiku meregang. Ketegangan akibat sisa tidur semalam yang tak tuntas dan tak senyap meninggalkan jejak berupa kepusingan dan jeritan yang tak luar biasa namun perih adalah satu-satunya yang kurasa.
Bencah yang kutiduri telah meninggalkan sensasi lembab pada kausku dan titik embun yang menetes pada wajahku. Ada belukar yang rimbun dan ilalang yang tingginya membuka langit dan menyundul bintang lalu berputar mempertahankan posisi sebab angin yang tak ribut telah pula datang dan meniup.
Aku memerintahkan semua indera yang kupunya mengidentifikasi lokasi dan nihil, aku tak tahu di mana diriku berada. Belukar di hadapanku tiba-tiba saling membelit dan gesekan dedaunannya menciptakan jerit tangis yang hilang sebegitu tiba-tibanya ketika mereka terbakar dan rasa panas menyerang mukaku seperti radiasi matahari pada siang-siang musim panas yang kering.
Dari bubungan api, Dari asap yang bergulung, Dari aliran udara yang bergerak di ujung jejari api, ada sesuatu yang berkata, ‘Akulah Dunia!’
Gema suaranya membentur dinding-dinding jagat lalu memantul masuk ke dalam telingaku memecah batin dan melapukkan sukmaku. Membersitkan kedamaian yang khusyuk namun mencerminkan ketegangan yang mendesak.
Dari balik belukar yang terbakar keuarlah sesuatu yang mataku menangkapnya sebagai ular namun ia memiliki kaki sejumlah seratus dan sungut seperti naga dan surai singa. Matanya mata manusia dan sinarnya seperti benci. Ia membelit pada kakiku dan menjalar ke atas tubuhku sampai ia bisa menatapku berhadap-hadapan seperti kawan lama dari masa lampau. Matanya mata benci. Ia menganga dan gignya yang mengkilat seperti tajam pedang menghunus menghujam ke leherku lalu menyemburkan racun ke buluhku. Racun itu merupakan kristal-kristal yang jahat berenang dalam darahku, mencernanya, dan lalu pembuluhku serasa keras seperti aluminium lalu retak. Dan aku kemabukan sebab racunnya yang mengaliri buluhku, serta tubuhku, sementara ia, ular itu, terbahak. Ia telah menggigitku dengan racunnya yang serasa silabab lalu melilitku hingga hancur pecah isiku namun kulitku utuh berbentuk sebab ular itu berkepala sepuluh dan bergerigi limapuluh dan disembunyikannya di balik kepala. Lidahnya cabang. Lidah ular jahat yang selalu basah oleh liur yang pahit.
Kini kami bertatapan seolah tengah berada dalam nostalgia karib lama yang tertunda:
‘Aku adalah ular. Siluman tua yang membuatmu menikmati keindahan fisik dari dunia. Yang meneteskan birahi pada bilurmu yang telah mengkal dan muda. Agar menjadi matang ia dan kau dapat merasakan manisnya perasaan terbuang. Yang membuatmu mengejang pada kelaminmu dan merintih pada suara. Aku adalah embun yang memurubkan nafsu. Aku mengurapimu dengan lendir-lendir yang kutangguk dari lumpur di tempat di mana jiwa manusia dibentuk lalu diciptakan untuk dihancurkan. Ya, aku adalah raja. Siluman tua yang memberimu kesempatan untuk mengetahui bahwa ada sesuatu yang tersedia namun tak diijinkan bagimu untuk kau rasa. Dari cakarku kau mengerang. Dari racunku yang manis kau mampu memberi tahu sukmamu yang indah bahwa aku adalah raja.
Aku adalah ular. Siluman tua yang bangkit dari lumpur untuk menyelimuti dirimu dengan selaput kenikmatan. Yang menggeliat dalam dadamu. Yang berkecamuk dalam kegundahanmu.’
Ular itu, siluman tua itu, masuk kembali ke dalam belukar yang terbakar dan menjadi bekulah segala api, asap, dan panas. Pembuluhku mengeras. Retak. Lalu pecah.

Ketika kubuka mataku, kusadari aku tengah berada di sebuah kanopi yang tinggi. Lamat-lamat kudengar sekumpulan menyanyikan sesuatu lagu dengan kumandang salawat para setan. Puja-puji para iblis... Di sana, tak jauh dari kanopi tempatku terbangun, di tengah rimbun bunga warna kuing kumpulan orang itu menyanyi dan berlagu dalam ekstasi. Tubuh mereka bergoyang sebab mantera-mantera segala teluh dan puja telah merasuk hingga ke ubun-ubun mereka. Kepala mereka tengadah, tangan mereka terangkat-angkat ke udara. Wajah mereka tersenyum tulus ke langit yang mendung dan bermega. Seekor burung tiung warna hitam terbang rendah dan mendarat tepat di sampingku untuk menjelma menjadi seorang petapa tua dengan sitar di tangannya: ‘Mereka adalah para pendoa, peziarah yang nista. Telah kau dengar litani para iblis. Serapah yang mengandung dosa semesta raya. Telah kau injakkan kakimu di tanah ini. Tanah yang menjadi sebab darah setan telah tertumpah padanya. Tanah yang terhina bagimu dan segala makhluk di dunia. Namun telah kau injakkan kakimu pada tanah yang menjadi sebab telah tertumpah pula ke atasnya darah setan. Darah kutuk pada tuhan. Darah hujat para terbuang. Karenanya, biarkan hujan menghanyutkan cerca pada duia. Biarkan renyai nan tempias menjadi satu-satunya jalan bagimu kembali pulang...’
Selesai berkhotbah, petapa tua itu memetik satu dawai sitarnyayang paling atas. Lalu ia menjelma kembali burung tiung yang berwarna hitam lalu terbang ke bubungan awan yang gelapnya telah tebal.
Maka, terbelahlah langit dan nampaklah seorang malaikat yang membawa terompet hari akhir. Menjadi ributlah kumpulan yang menyanyi itu. Aku hanya terdiam tak bergerak menyaksikan pemandnga tersebut. Si malaikat meniup terompetnya dan dalam sebuah gelombang aku tersungkur ke belakang...

‘Kau mampu melewati tujuh siksa yang telah ditulahkan padamu sebagaimana telah ditumpahkan kepada kami. Kami tak mengerti. Kami tak mampu menjalaninya. Siksa yang pada kami yang dituduh bidah. Sementara kau, tak sedikitpun kau disiksa... Tak sedikitpun kau termakan oleh hina.’
Telah sama sekali berubah pemandangan yang kulihat dari kanopi tadi. Tak ada rimbun bunga wana kuning. Tak ada mega warna kelabu. Hanya asap dan ruap yang tebal serta kabut yang menyaput. Saat ini tanah rekah. Dan cairan menyala mengalir mengisi di sela peccahannya. Salah seorang peziarah yang berdoa tadi kini tergolek lemah tanpa nyawa di sebelahku. Suasana menjadi sumuk sebab cairan menyala yang mengaliri rekah pada tanah menguarkan hawa api. Tujuh siksa, katanya... Jauh di atas gunung sebelah utara kulihat tujuh orang berbaris sejajar. Tujuh orang dengan tujuh daturanya dan tujuh pula pasang sayapnya.. Tujuh malaikat dengan tujuh macam siksa... Ketujuhnya secara berurutan terbang ke langit, di mana cahaya turun membelah kabut asap dan uap: ‘Tulahmu telah turun, junjunganku yang mulia’, gema suara mereka sampai ke telingaku yang masih mati rasa, ‘murkamu telah sampai pada mereka yang kau hina’.
Aku berjalan meninggalkan salah seorang peziarah yang telah tak bernyawa itu. lalu kutemukan seseorang yang berlutut di depan sebuah totem besar pada beting tanah yang di bawahnya mengalir sungai dengan keping-keping es yang ambang dalam gerakannya. Sungai es, namun suasana tetaplah sumuk meskipun tak melelehkan lembar-lembar es tersebut. Totem itu terdiri dari tiga figur besar yang bertindihan. Yang paling atas memiliki kepala seperti burung nasar namun ia memiliki tangan sejumlah sepuluh. Figur di bawahnya memiliki kepala manusia yang bermata tigabelas dan tak memiliki tangan. Yang paling bawah bertubuh besar dan berkepala serigala dengan kakinya yang menancap pada bumi. Ketika kudekati barulah aku sadar ternyata ada dua orang lagi di belakang orang yang bersujud itu. ‘Mengapa kau sembah berhala ini? Berhala apakah gerangan yang kau sembah?’, tanyaku pada si pesujud itu. Kini ia mengangkat kedua belah tangannya selayak orang yang tengah berdoa. ‘Ia adalah berhala hujan. Berhala kami memanggil hujan’, sahutnya. ‘Dengan sepuluh tangannya ia mengaduk-ngaduk langit menyarikan air. Dengan tiga belas matanya ia memilih siapa-siap yang pantas menerima air. Dengan kaki-kakinya yang senantiasa menusuk tanah ia menyalurkan air’, lanjutnya. ‘Mengapa kau memerlukan hujan?’, tanyaku lagi. Kini ia menyentuh tanah dengan keningnya. ‘Bukankah telah mengalir sungai di bawah sana untuk kalian gunakan?’, lanjutku. Laki-laki itu bangn dan menatapku: ‘Nenek moyang kami melakukannya sedari dahulu, sebelum pula kita mengenal waktu sebagai penanda segala. Oleh sebab itulah terlahir ke dunia keberadaban. Jangan kau hujat kami, wahai kau anak manusia yang suci dari nista. Takkah kau mengerti bahwasanya keberadaban terlahir dari air? Takkah kau lihat suatu budaya belum berfungsi bila tak ada air? Dan keberadaban kami kini di ambang hancur. Kebun-kebun dan ladang kami kering sebab air tak tertinggal dalam tanah saat kami menyirami tanaman kami. Belumkah jelas bagimu saat melihat tetumbuhan yang kami pelihara dan kami jagai telah koyak daunnya dan menjadi busuk akarnya sebab belalang-belalang telah berduyun-duyun datang dalam nafsu menggerogoti?’. Kulihat jauh kebelakang dan ladang mereka telah tak lagi tetanami apapun. ‘Ini adalah murka dari sesembahan kami. Maka kami mohon ampunananya guna diturunkannya pahala dan dilimpahinya kami perlindungan supaya tak lagi kami beroleh bencana. Sebab telah pula kami tanami tanah itu dengan benih-benih baru dan yakinlah kami bahwa dengan memohon padanya akan dihindarkannya kami dari kebencian alam’, ia menunjuk-nunjuk silih berganti ke arah ladang dan ke arah berhala besar itu.

Rasa sendu dalam dadaku mendadak pudar seketika setelah beberapa burung bangau warna jambon terbang lesat di atas berhala hujan tersebut dan berubah menjadi burung api yang konon dari abu sisa tubuhnya lahirlah kembang-kembang bidadari bidadara. Ada delapan ekor burung itu dan salah satunya menengadah ke udara sembari bersabda pada alam semesta raya: “Kalian para berdosa telah mengotori tanah ini. Tanah yang daripadanya tertumpahlah darah sang Malaikat paling beracun sedunia. Si Ular Besar yang dari perutnya keluarlah ribuan komet dan dari matanya terpencarlah api ke penjuru muka jagat raya. Si Berbisa yang melukai hati Tuhannya dan membuat-Nya tak berdaya. Kalian yang memuja si Muka Tiga dan menyembahnya seperti Tuhan kalian. Tak tahukah kalian bahwasanya murka Tuhanku telah terucap dan tak sadarkah kalian bahwasanya tak semestinya kalian bersaksi ingkar?”

Tak satupun orang di sekitarku ini mampu menatap burung pesabda itu dan menjadi pitamlah Tuhan pada mereka. Turunlah tanganNya kedunia dan dihembuskannya nyawa ke sesembahan hujan tersebut. Maka hiduplah berhala itu dan menjadi takutlah orang-orang itu sebab berhala pujaan mereka telah hidup dan membabi buta memamah benih-benih yang telah mereka tanam sebelumnya.

Sadarlah aku bahwasanya semua telah tak lagi sempurna bagi mereka dan oleh sebab itu segalanya tak lagi menjadi terlalu berarti. Tinggallah hanya runtuh doa dan gegar puja supaya diselamatkan mereka oleh segala tetuhan dan sesembahan mereka. Namun tak begitu gampang rupanya segala upaya yang dikerahkan mereka sebab barangkali tuhan telah bosan dengan umatnya yang ini lalu dibangunkannya berhala itu. Yang berujud burung nasar telah mengembara di langit yang sekarang menghitam. Tangannya sejumlah sepuluh menjulang ke atas dan menarik ribuan bulir hujan yang mengeras menjadi partikel besi lalu turun ke tanah dan membuat lubang-lubang sebab dengan kecepatan luar biasa, benda keras itu bisa menyebabkan luka. Yang berkepala serigala merekahkan bumi untuk kemudian melapangkan jalan bagi yang bermata tigabelas supaya dapat mematahkan manusia pada lehernya dan menghisap darah mereka hingga celaka.

Mereka bermuka putus asa, pada akhirnya. Satu dari mereka mulai menarik-narik rambutnya sampai luka kepalanya dan satu lagi dari mereka mulai menggosok-gosokkan punggungnya pada karang terdekat yang dijumpainya sementara satunya menggaruk matanya dengan gegap gempita. Sampai habis tubuh mereka lalu pakaian mereka hilang diterpa sepoi angin yang menderu.
Kini tanah itu telah tandus. Tinggallah totem itu berdiri dengan pongah di tengah-tengah tanpa menyisakan titik akan kejadian yang dilakukannya.
Tiba-tiba hari mendung. Awan berkelebat dan butir salju menjadi satu dengan buih arang turun dari langit. Menyambar kulitku dengan jumawa sehingga menjadi lepuhlah kulitku dan mengeranglah kerongkonganku. Lepuh itu menjalar dengan cepatnya dan lamat-lamat kudengar suara lengking tawa senang perempuan dengan tiga mahkota dikepalanya. Susunya keriput menjuntai dan sorot pada matanya mencerminkan kekhilafan masa lalu serta gerai rambutnya menggoyang keseimbangan udara di belakangnya. Turunlah ia dari langit dengan segenggam bulir gandum lalu mendekat Ianya padaku: ”Kau adalah satu-satunya dari kami yang mampu melindungi berhala dari murka yang kuasa. Kau adalah Luka pada tubuhNya. Kau adalah sembilu yang menyayat ragu-ragu... Bukti warna hitam dari sang surya.”
Siapa kau?
”Aku adalah Raja di Dunia. Yang memimpin angin menjadi ribut dan membuat mual para peziarah yang khusyuk pada sembahyang mereka. Aku adalah Raja di Dunia. Yang memegang kunci para Asyura. Membimbing mereka menjadi penggugah selera para pujangga dan mengkhianati hati mereka. Akulah Raja. Raja Dunia!”
Dilesakkannya bulir segenggam gandum pada tangannya tepat di bawah pusar perutku. Sehingga menjadi tengadahlah aku sebab sakitnya menjadi satu dengan kikih perempuan itu dan benciku tak mampu menyampai padanya. Rasi bintang berpindah... Matahari padam... Rembulan warna kuning menangis.... Dan pucat bintang warna tembaga.

Ada pohon pada remang lihat mata sembabku. Di bawahnya ada seorang cerdik pandai, kelak ia dinamai Pandita... Sebab ianya telah mencapai kebijaksanaan dalam pikiran dan kesempurnaan pada laku brata. Namun ia tak sendiri. Ada sekitaran delapanpuluh wanita di sekelilingnya. Mereka saling gandeng dan saling tukar lirik mata. Dari bau sekitar mereka terciumlah warna senggama. Warna erotik yang terus terang membuatku begidik. Ada lagu yang mereka gumamkan. Lagu pembuat surup yang tak pernah sekalipun berdampak pada Sang Pandita. Mereka melaju lurus tembus padang pada tubuhnya lalu lenyap di balik pohonnya.
Marah, mereka menatapku dengan putus asa: ”Kau! Kau KesayanganNya! Kau yang terlindungi dari murka Sodom dan Gomora. Kau yang lari saat Ia membalik kota itu ke dalam amarahnya. Kau! Kenapa hanya Kau yang diselamatkanNya?”
”Kalian membantu manusia berbuat pada zinah. Kalian membuat laki-laki menjadi tumpul matanya dan melihat laki-laki lain dengan cara yang sensual. Tidakkah menurut kalian hal itu menjadi salah dan pantaslah adanya Dia memberantakkan kota itu lalu meninggalkannya?”
”Tak ada yang salah dengan pergumulan erotis antara sesama, wahai Kau yang Maha DicintaiNya! Tak ada yang cacat akan itu sebagaimana tak ada yang rusak dari sistem semesta. Ia hanya marah. Ia hanya tak senang melihat manusia. Ia hanya menyesal membuat manusia. Ia hanya merasa salah dengan prakaryaNya. Ia hanya usil. Ia hanya cemburu dan tak suka. Namun apa hakNya membunuh dengan membabi-buta? Tidakkah Kau, wahai KekasihNya, berpikir bahwasanya Ia pun Maha Jahat sebagaimana Ia Maha Pengasih?”
Tentu tidak! – Ada keraguan sesugguhnya tersibak dalam dada tapi aku tidak akan jatuh pada mantra-mantra mereka: Mereka adalah sesuruhan para Iblis yang merasuk secara fiilosofis dan metafisis pada jiwa mereka-mereka yang gentar dan gamang. Namun aku tak getir dan tak kentir! Tak satupun dari teluh mereka akan merobek bentengku dan menggigit leherku dengan bisa mereka yang penuh nafsu. Salah satu dari mereka mengusap keningku dan menjadi mengantuklah aku seketika: ”Kami pernah menaklukkan kakekMu – Si Orang Pertama di Dunia, dan akan Kami lakukan lagi adanya hal tersebut. Demi menyambut Sang Raja. Sang Raja yang Utama. Yang akan membawa Manusia ke dalam pelukanNya dan mengajak Kalian, aduhai kutuklah atas nama Sang Mulia, menjadi tumbal atas semesta raya.”
Dimainkannya harpa yang dipegangnya dan terbanglah segala pepohon ke udara...

”Dan aduhai, Ingatkah Kau pada Pandora?”, ada bisik yang berdengung ke telingaku di ambang tidur... Aku ingat, gumamku... Kecantikannya yang anugerah rupa-rupa dewa. Namun ada satu yang sekiranya luput dari para penguasa untuk dihadiahkan padanya: Kebijakan hati. Aduhai, Pandora... Cantikmu seribu afrodisiaka. Rupamu serupa gembira dan hidungmu bangir gunung Etna... Tapi hatimu seperti celaka. Kuning busuk susuk kantil. Kudis kuno yang selamanya. Kau buka kotak itu. Kau tebar segala penyakit dan putus asa. Lalu di sinilah aku kini: di atas altar batu megalit. Batu kuarsa yang besarnya seperti sarkofagus. Ada ukiran bening di samping kanannya. Ukiran doa-doa pada Dispater sang Bapa...
Ada seseorang yang memakai jubah warna putih dan di tangannya ia membawa sebuah kotak berwarna kelabu, sperti biru pada mata kaki yang tertimpa batu. Dibukanya bajuku dan diruapinya denga asap dari dedupa dan bau kamfer pada hidungnya... Ia membaca mataku dari balik cadarnya yang bermotif penyu dan gurita: Sindrom Pandora! Kuinjeksikan padamu sari pati belulang Ia yang cantiknya rupa-rupa para dewa. Agar kau rasakan sakitnya kepingin tahu yang terlarang. Agar kau rasakan membuka kotak yang sebegitu terlarang bagimu dan kau keluarkan jutaan sakit dan putus asa, serta perih dan rasa murka.
Ditusuknya tanganku dengan jejarum yang karatnya telah lima ratus sepuluh tahun usianya dan menjadi demamlah aku. Menajdi melihatlah aku kepada jejalan surgawi yang terkilas warna kuning warna emas serta warna-warna gembira. Menjadi terlihatlah bagiku segalanya. Segala petir yang keluar dari murka para dewa. Rasa menang sang Bapa akan pengkhianatan manusia.

Kucabut jejarum tersebut...

Menjadi pusing rasanya kepalaku dan berubahlah menjadi arang mataku... Larilah aku ke padang pasir yang luasnya sehingga kuhabiskan waktuku kira-kira limapuluh tahun lamanya di sana. Tanpa air dan tanpa rasa makanan tersangkut pada lidahku. Lalu di tengah kesekaratanku kulihat ada rawa-rawa, di dekat dermaga sebelah selatan padang pasir yang dari lubang-lubangnya terkadang keluarlah kalajengking yang berwarna sumba dan sengatnya seperti sengat laba-laba. Seperti sengat binatang neraka. Di rawa-rawa itu kulihat seorang wanita muda berdiri di tengahnya. Ia memakai jubah warna hitam. Tangannya terangkat ke samping kanan dan kiri tubuhnya dan tubuhnya bergoyang seumpama mantera yang terucap dari mulutnya. Huruf-huruf keluar dari mulutnya dan tenggelam ke genangan air di sebelahnya. Lalu dari dalam genangan air itu keluarlah sebentuk manusia namun ia memiliki sebelah mata yang seperti kucing sementara sebelah matanya seperti mata gagak. Tangannya kurus dan kepalanya tanpa rambut. Keningnya mencelat dan hidungnya seperti melesak ke dalam. Perutnya perut ular. Perut rata tapi dingin. Perut jalar yang semayam. Ia menatapku dan terkekeh. Rupanya telah keluar pula sesaudaranya dar genangan-genangan air di sekitar tempat itu. Perempuan tadi yang kulihat di tengah rawa telah menggores tangannya denga pisau lalu di persilahkannya makhluk-makhluk tersebut menenggak segala cairan yang keluar daripada lukanya. Menyalaklah anjing di padang rumput. Menjadi kelamlah hari itu.

Perempuan itu membuka jubahnya. Hekate, itulah namanya. Perempuan yang mengawal keadaan liminal seseorang. Mengantarnya ke dalam sihir-sihir burung hantu dan tatapan sendu bunga perdu. Di tangannya terdapatlah Kallisti, apel terbesar secara historis mengingat peran pentingnya dalam perang Troya. Lalu mendekatlah ia padaku dan diserahkannya apel itu padaku. Kemudian berubahlah apel itu menjadi cermin, memantulkan bentuk asli sang perempuan: Tiga kepala, satu anjing hitam, satu kuda dan satu ular naga. Tersenyum ketiganya kepadaku dan hari-hari berubah seperti gambar-gambar pada layar yang dipercepat seratus kali.


Berikutnya kudapati diriku di tengah-tengah padang rumput. Angin hanyalah sedikit namun rambutku tetap terhembus kian kemari. Sebatang pohon ranggas di seberangku bergoyang. Di atasku, tepat diujung pohon itu, sepotong matahari telah hampir gerhana. Prominensanya mencuat ke pinggir-pinggir. Lalu hitam. Hitam segala dan gelap adanya. “Sebentar lagi Aku mati”, alam bergumam dan kupingku berdengung: Sebentar lagi Aku mati dan untukmulah hanya tersisa peradaban. Namun telah teramalkan oleh para tua-tua di jaman dahulu kala, sisi gelapKu akan datang padamu dan meneteskan darahnya ke mulutmu. Sehingga menjadi manis darahmu dan menjadi mabuk akalmu. Dan pada itulah, Kususun ulang para bintang, supaya dimampukannya kau meramalkan hari tepat BagiKu untuk mati dan memberimu sepotong dagingKu dan juga secangkir darahKu. Tujuh puluh dua jumlah bintang itu dan bagimulah setiaKu kelak tertuang. Sebentar lagi... Betul-betul sekejapan pada mata lagi, Aku akan mati...

Di pohon itu, pohon ranggas yang telah jutaan tahun menjadi pusat para dunia, berkumpullah tujuh puluh dua sosok menatapku. Dua puluh empat tersenyum. Dua puluh empat menatap nanar setengah menangis sementara dua puluh empat memandang hina tak suka.