Tuesday 11 January 2011

Memoar Malam di Bulan Mei

Hatiku tak dapat menatap mukamu. Muka sinis enam tahun di depan luka. Dan muka lugu yang juga percaya. Entah, tiba-tiba aku merasa gamang. Merasa goyang yang gelombang. Tiba-tiba aku kehilangan kepercayaan diri: satu bentengku telah hilang…

Kita, empat orang yang berpelukan di depan jalan, empat orang yang ‘sesat’, dan barangkali sesak, menjadi tunggal bergelimang sedih dan perih. Perihku membuat mati rasa… Tak tahu aku bagaimana dengan perihmu atau perih mereka. Tahukah, aku tak sanggup menahan air dari mata yang sedari tadi kutahan dengan sekuat tenaga. Susah payah kupikirkan segala baik dan terang kita. Susah payah kutanamkan segala legawa. Tapi kau jadi seperti tuba pada ikannya… Seperti cuka pada boroknya. Kau bilang kau yakin kita semua akan berhasil… Kau bilang kita semua akan tetap bertemu satu dengan lainnya. Aku kepingin tak percaya… Aku kepingin meninjumu pada muka dan berkata: kenapa harus berpisah kalau kita pada awalnya bertemu?

Tahukah, lukaku luka asam. Luka sedih campur kelam… Kehilangan satu benteng berarti banyak buatku yang paling rapuh di antara kita berempat… Aku marah. Aku murka. Sayangnya aku tak tahu kepada apa… Aku sayang… Dari dulu aku sayang pada dirimu dan juga pada mereka. Susah… Susah rasanya untuk tidak mengeluarkan air mata. Aku sedih… Rasanya seperti lapuk kayu yang dimakan laba-laba… Rasanya seperti kusam besi karena udara.

Seketika aku kosong… Seketika aku suwung… Rasa kosong yang melompong… Rasa capek yang luar biasa. Kau lihat histerisku yang kutahan? Kau lihat sedih yang tergambar dalam cembung air mataku? Kau lihat goyang dalam sempoyongku? KAU LIHAT, KAN, ANJING!!!

Kau sadar tak kubalas rangkul kalian? Kau sadar tak kuiyakan kalimat-kalimat positif kalian? Kau sadar, bahwa aku merasa menjadi satu-satunya yang bernuansa negatif sementara kalian begitu positif? Maaf, mungkin semua kulihat dari kacamataku yang berembun karena ingus. Tapi kau sadar? Kalian sadar?

Ini yang membuatku benci pada kalian. Ini yang membuatku benci bahkan pada tuhan. Enam tahun, demi ANJING!!! Enam tahun dan kau pergi… Berkelebatlah kenangan duka dan juga suka. Bergetarlah sel-sel otakku mengimpuls memori untuk mengulang lagi apa-apa yang kita lakukan dan lalui sama-sama… Dan semuanya tetap saja memberatkan dadaku hingga jebol tanggul rasaku dan hilang senangku… Seharusnya kita tak tertawa… Seharusnya kita tak bercanda bersama-sama – empat orang “laknat” yang kukira pastilah dikutuk tuhan…

“Karena mungkin kita akan berada di tempat yang sama jikalaupun ada yang namanya akhir dunia…”, tahukah kau maknanya untukku apa? “I don’t loveYou!”, kubilang begitu, ingat? “I don’t love YOU, but I Lust on YOU!!!” Tidak akan pernah kukatakan “AKU MENCINTAI KALIAN”! Tidak sekalipun dalam satu sekon di hidupku. Sebab memang aku tak pernah mencintai kalian… Aku memang pernah menyayangi kalian. Tapi sekarang, saat ini, “SAYANG” itu sudah jadi nafsu… Aku menaruh nafsuku pada kalian… Nafsu hidupku, nafsu matiku, nafsu rusak dan nafsu boyak-ku. Kalian tentu tahu nafsu itu apa, bukan?
Enam tahun… bukan waktu yang lama (saat ini mataku telah penuh dan hampir tumpah) Enam tahun… bukan sesuatu yang bakal gampang terlupa, bukan? (baik, saat ini mataku sudah tumpah, kuakui) Sekarang aku tak tahu apa yang sebetulnya ada dalam rasaku (saat ini papan ketikku sudah basah)… Segala palsu dan ragu: kalian tahu… Segala umpat dan cerca: kalian paham… Segala sinis dan ironis: kalian hapal…

Saat ini aku Cuma kepingin tidur… Membawa lukaku tenggelam dan menggiring sedihku akan kehilangan. Aku kepingin memeluk kalian… Tapi membalas peluk kuanggap mengiyakan akan kesendirian. Dan akupun yakin, wahai orang-orang ‘sesat’ yang kulaknat dengan sumpah sayangku, kalian pasti memahami itu. Sudahlah, aku cuma ingin memaki-maki tuhan saat ini. Aku cuma kepingin melempar tahi ke mukanya dan menendang kelaminnya… Aku cuma kepingin tidur, membawa isak lelap jauh ke dalam kenanganku…

Yogyakarta, 21 Mei 2009, 3:51 AM.

No comments:

Post a Comment