Tuesday 11 January 2011

Cthulhu

Aku akan bernyanyi pada bulan yang tinggi di angkasa.
Aku akan bernyanyi tentang mantra yang akan menghentikan masa dan membuat lautan di hadapanku bergolak memnyambut kedatangannya.
Aku akan bernyanyi tentang mimpi-mimpi dari kejauhan. Aku akan duduk bersila lalu bernyanyi tentang langkah kakinya yang menenggelamkan pelabuhan. Memuji teror yang tersaji di belakang kemunculannya. Memujanya dengan sembahyang khusyuk pada bulan yang mengiringi jalannya.
Aku akan bernyanyi tentang hari-hari sihir di mana ia akan datang yang akan mengundang sakit pada orang-orang yang menutup pintu saat ia hadir bersama kabut dari teluk dan rimis dari tanjung.
Ia adalah dewaku. Kepada siapa aku selama ini memusatkan tenaga dan berucap sihir demi mengundannya hadir ke semesta. Ialah satu dari Mereka yang tertua dan yang teragung.
Dengan kepalanya yang moluska purba ia menatap pada orang-orang yang khianat dan berhenti memujanya. Dengan lengan-lengannya ia mengambili para pendosa. Dengan cakarnya yang agung dihukumnya orang-orang tersebut.
Ialah dewaku. Yang kupuja dengan sembah dan hati yang rendah. Ialah yang abadi. Yang telah ada sebelum kala mengenal manusia. Ia, bersama saudara-saudaranya yang tua dan agung, datang dari bintang untuk dipuja dan mengatur dunia. Mereka tak berdaging tak berdarah namun terbentuk dari materi yang sama sekali tak terdapat di bumi kita.
Mereka berkelana dari satu dunia ke dunia lainnya manakala gemintang berada pada posisi yang sebenarnya dan lalu bila itu tak terjadi, bila bintang tak benar pada posisi, mereka akan tertidur. Menunggu saat yang benar bagi mereka untuk bangun dan mengembalikan kekuasaan mereka pada semesta. Mereka akan kembali pada dunia dan mengajari kita, para manusia, jalan mereka: Kebebasan. Kebebasan dari hukum-hukum dan norma-norma yang melelahkan dan memakan korban. Saat itulah, saat kekuasaan mereka kembali, dunia akan terbakar dalam api ekstasi dan kebebasan...
Aku akan bernyanyi pada rembulan.
Memanggil-manggil nama tuanku yang kuasa dan menyuruhnya kembali berjumawa.

Lihat! Samudera berputar dan langit menghitam. Mantraku telah didengarnya. Ia telah terbangun dan dengannya terbangun pula para pengawalnya yang hebat dan kuat. Mereka yang membangun kota suci R’lyeh bagi sang raja namun tenggelam ke dalam laut sehingga membawa mereka ke istirahat panjang yang membosankan. Saatnya bangun, yang mulia! Saatnya kembali berkuasa.
Gelombang air yang menembok merupakan tanda geliatnya. Lelah akibat pertapaan berabad-abad akan segera berakhir. Aku tak pernah mengira akan sehebat ini kebangkitannya. Hari sebenarnya adalah malam namun dengan kuasanya, ia merobek langit sehingga matahari dan bulan serta bintang terlihat begitu saja dengan ketelanjangan pada mata. Ia membuat jagat raya tertegun hingga sebuah bintang jatuh berhenti pada posisinya dan matahari meredup. Sekilas kukira hari akan kiamat sebab cahaya tak lagi ada artinya. Angkasa luas membentang di atasku dan genuruh yang luar biasa pada laut di bawahku. Karang tempatku berpijak bergetar. Dunia menyiapkan diri menyambut kehadiran tuanku.
Tangan itu menyembul dari tengah air yang berpusar. Dengan cakarnya yang agung ia akan menghukum para pendosa. Orang-orang tak sempat berteriak sebab kesima telah menjadi raja di dalam hati mereka.
Tangan itu semakin panjang keluar dari air ketika kulanjutkan panjat mantraku dengan gumam yang halus dan ritmis.

Ia telah keluar sepenuhnya dari air.

Senyumku senyum puas. Kepalanya basah dengan satu mata tersembul. Dengan matanya ia menatap pada orang-orang yang khianat padanya. Namun aku tak pernah khianat. Aku selalu setia. Tubuhnya sebesar gunung, liat dan bersisik. Kepalanya kepala marah gurita dan tentakelnya yang menari-nari di dagunya mengagapai-gapai menyecap udara kebebasan. Kabut mengelilinginya sebagai gaun kebesaran sang baginda raja. Ia menatap ke arah pelabuhan dan serta merta air laut menyerbu ke sana dan menyeret kembali apa yang disapunya. Aku mencium bau darah. Bau takut yang membara.
Aku di sini, tuan sesembahanku yang mulia. Berkuasalah lagi engkau yang kuasa. Yang maha kuat dan maha segalanya. Tugasku telah selesai, tuan. Aku ingin menuju ke kotamu di bawah sana. Menjemput kemuliaan sebagai hadiah yang telah kau sertakan dalam janjimu pada orang yang tunduk dan menyembahmu. Bawalah aku, tuan, dalam kejayaan yang akan segera kau tapaki. Dalam kepekatan teror pada pendosa. Hukumlah mereka, tuan. Hukumlah!
Tuanku itu menoleh ke arah karang yang kujadikan tempat tapaku sedari tadi. Terus menerus kulafalkan mantra sehingga ucapan-ucapan sihir itu mengambang di udara dan melingkupi tubuhku. Seutas tentakelnya melambai dan air laut naik setinggi badannya yang segunung. Aku berdiri dan menambah level pujianku sebab inilah yang kutunggu: undangan ke kotanya yang akan segera bangkit. Aku tak pernah lupa bahwa air adalah kekuasaan tuanku.
Tembok air itu makin mendekat dan karenanya kuangkat tanganku tinggi-tinggi dengan doa pada mulut. Lalu yang kurasakan hanya dingin. Hanya asin. Dalam gulungan air, bayangan tuanku terpapar. Ia masih berdiri di tengah sana namun tampaknya ia sedang bersiap menuju ke tanah. Ia bersiap mengambil apa yang dulu pernah dimilikinya.
Air laut membawaku ke laut dalam. Itu dia! Kota batu suci tempat tuanku selama ini semayam. Gelombang dan tekanan mendorongku terus ke bawah. Namun bukan ke kota yang sedang bangkit ke permukaan tersebut aku mengarah. Aku terjun ke arah palung yang dalam. Tuanku, mengapa tak kau biarkan aku menjadi penghuni kota sucimu? Tuanku...

Lafal mantraku hilang dalam gelembung. Kakinya, kaki besar tuanku telah terngkat. Ia telah berjalan... Aku senang tuanku telah kembali dan akan berkuasa. Meski aku takkan pernah menjadi penghuni kota sucinya. Berkuasalah lagi engkau, tuanku. Dewa yang kusembah dengan puji dan doa...

No comments:

Post a Comment