Tuesday 11 January 2011

Heretika

Hitam...
Gelap malam telah meraja dan mataku telah lelah. Namun sedetik menjelang aku memejam, warna kelam di hadapanku bergolak lalu memusar pada satu titik. Menusuk masuk ke dalam keningku yang berkeringat. Nadiku berdenyut, sementara hatiku berdentang lima kali. Lelah luar biasa namun ada rasa sendu yang merasuk. Meresap pada humus jiwaku. Meninggalkan memar-memar duka.

Terbangun dengan telungkup pada tanah bukanlah suatu hal yang mengenakkan. Sekujur sendiku meregang. Ketegangan akibat sisa tidur semalam yang tak tuntas dan tak senyap meninggalkan jejak berupa kepusingan dan jeritan yang tak luar biasa namun perih adalah satu-satunya yang kurasa.
Bencah yang kutiduri telah meninggalkan sensasi lembab pada kausku dan titik embun yang menetes pada wajahku. Ada belukar yang rimbun dan ilalang yang tingginya membuka langit dan menyundul bintang lalu berputar mempertahankan posisi sebab angin yang tak ribut telah pula datang dan meniup.
Aku memerintahkan semua indera yang kupunya mengidentifikasi lokasi dan nihil, aku tak tahu di mana diriku berada. Belukar di hadapanku tiba-tiba saling membelit dan gesekan dedaunannya menciptakan jerit tangis yang hilang sebegitu tiba-tibanya ketika mereka terbakar dan rasa panas menyerang mukaku seperti radiasi matahari pada siang-siang musim panas yang kering.
Dari bubungan api, Dari asap yang bergulung, Dari aliran udara yang bergerak di ujung jejari api, ada sesuatu yang berkata, ‘Akulah Dunia!’
Gema suaranya membentur dinding-dinding jagat lalu memantul masuk ke dalam telingaku memecah batin dan melapukkan sukmaku. Membersitkan kedamaian yang khusyuk namun mencerminkan ketegangan yang mendesak.
Dari balik belukar yang terbakar keuarlah sesuatu yang mataku menangkapnya sebagai ular namun ia memiliki kaki sejumlah seratus dan sungut seperti naga dan surai singa. Matanya mata manusia dan sinarnya seperti benci. Ia membelit pada kakiku dan menjalar ke atas tubuhku sampai ia bisa menatapku berhadap-hadapan seperti kawan lama dari masa lampau. Matanya mata benci. Ia menganga dan gignya yang mengkilat seperti tajam pedang menghunus menghujam ke leherku lalu menyemburkan racun ke buluhku. Racun itu merupakan kristal-kristal yang jahat berenang dalam darahku, mencernanya, dan lalu pembuluhku serasa keras seperti aluminium lalu retak. Dan aku kemabukan sebab racunnya yang mengaliri buluhku, serta tubuhku, sementara ia, ular itu, terbahak. Ia telah menggigitku dengan racunnya yang serasa silabab lalu melilitku hingga hancur pecah isiku namun kulitku utuh berbentuk sebab ular itu berkepala sepuluh dan bergerigi limapuluh dan disembunyikannya di balik kepala. Lidahnya cabang. Lidah ular jahat yang selalu basah oleh liur yang pahit.
Kini kami bertatapan seolah tengah berada dalam nostalgia karib lama yang tertunda:
‘Aku adalah ular. Siluman tua yang membuatmu menikmati keindahan fisik dari dunia. Yang meneteskan birahi pada bilurmu yang telah mengkal dan muda. Agar menjadi matang ia dan kau dapat merasakan manisnya perasaan terbuang. Yang membuatmu mengejang pada kelaminmu dan merintih pada suara. Aku adalah embun yang memurubkan nafsu. Aku mengurapimu dengan lendir-lendir yang kutangguk dari lumpur di tempat di mana jiwa manusia dibentuk lalu diciptakan untuk dihancurkan. Ya, aku adalah raja. Siluman tua yang memberimu kesempatan untuk mengetahui bahwa ada sesuatu yang tersedia namun tak diijinkan bagimu untuk kau rasa. Dari cakarku kau mengerang. Dari racunku yang manis kau mampu memberi tahu sukmamu yang indah bahwa aku adalah raja.
Aku adalah ular. Siluman tua yang bangkit dari lumpur untuk menyelimuti dirimu dengan selaput kenikmatan. Yang menggeliat dalam dadamu. Yang berkecamuk dalam kegundahanmu.’
Ular itu, siluman tua itu, masuk kembali ke dalam belukar yang terbakar dan menjadi bekulah segala api, asap, dan panas. Pembuluhku mengeras. Retak. Lalu pecah.

Ketika kubuka mataku, kusadari aku tengah berada di sebuah kanopi yang tinggi. Lamat-lamat kudengar sekumpulan menyanyikan sesuatu lagu dengan kumandang salawat para setan. Puja-puji para iblis... Di sana, tak jauh dari kanopi tempatku terbangun, di tengah rimbun bunga warna kuing kumpulan orang itu menyanyi dan berlagu dalam ekstasi. Tubuh mereka bergoyang sebab mantera-mantera segala teluh dan puja telah merasuk hingga ke ubun-ubun mereka. Kepala mereka tengadah, tangan mereka terangkat-angkat ke udara. Wajah mereka tersenyum tulus ke langit yang mendung dan bermega. Seekor burung tiung warna hitam terbang rendah dan mendarat tepat di sampingku untuk menjelma menjadi seorang petapa tua dengan sitar di tangannya: ‘Mereka adalah para pendoa, peziarah yang nista. Telah kau dengar litani para iblis. Serapah yang mengandung dosa semesta raya. Telah kau injakkan kakimu di tanah ini. Tanah yang menjadi sebab darah setan telah tertumpah padanya. Tanah yang terhina bagimu dan segala makhluk di dunia. Namun telah kau injakkan kakimu pada tanah yang menjadi sebab telah tertumpah pula ke atasnya darah setan. Darah kutuk pada tuhan. Darah hujat para terbuang. Karenanya, biarkan hujan menghanyutkan cerca pada duia. Biarkan renyai nan tempias menjadi satu-satunya jalan bagimu kembali pulang...’
Selesai berkhotbah, petapa tua itu memetik satu dawai sitarnyayang paling atas. Lalu ia menjelma kembali burung tiung yang berwarna hitam lalu terbang ke bubungan awan yang gelapnya telah tebal.
Maka, terbelahlah langit dan nampaklah seorang malaikat yang membawa terompet hari akhir. Menjadi ributlah kumpulan yang menyanyi itu. Aku hanya terdiam tak bergerak menyaksikan pemandnga tersebut. Si malaikat meniup terompetnya dan dalam sebuah gelombang aku tersungkur ke belakang...

‘Kau mampu melewati tujuh siksa yang telah ditulahkan padamu sebagaimana telah ditumpahkan kepada kami. Kami tak mengerti. Kami tak mampu menjalaninya. Siksa yang pada kami yang dituduh bidah. Sementara kau, tak sedikitpun kau disiksa... Tak sedikitpun kau termakan oleh hina.’
Telah sama sekali berubah pemandangan yang kulihat dari kanopi tadi. Tak ada rimbun bunga wana kuning. Tak ada mega warna kelabu. Hanya asap dan ruap yang tebal serta kabut yang menyaput. Saat ini tanah rekah. Dan cairan menyala mengalir mengisi di sela peccahannya. Salah seorang peziarah yang berdoa tadi kini tergolek lemah tanpa nyawa di sebelahku. Suasana menjadi sumuk sebab cairan menyala yang mengaliri rekah pada tanah menguarkan hawa api. Tujuh siksa, katanya... Jauh di atas gunung sebelah utara kulihat tujuh orang berbaris sejajar. Tujuh orang dengan tujuh daturanya dan tujuh pula pasang sayapnya.. Tujuh malaikat dengan tujuh macam siksa... Ketujuhnya secara berurutan terbang ke langit, di mana cahaya turun membelah kabut asap dan uap: ‘Tulahmu telah turun, junjunganku yang mulia’, gema suara mereka sampai ke telingaku yang masih mati rasa, ‘murkamu telah sampai pada mereka yang kau hina’.
Aku berjalan meninggalkan salah seorang peziarah yang telah tak bernyawa itu. lalu kutemukan seseorang yang berlutut di depan sebuah totem besar pada beting tanah yang di bawahnya mengalir sungai dengan keping-keping es yang ambang dalam gerakannya. Sungai es, namun suasana tetaplah sumuk meskipun tak melelehkan lembar-lembar es tersebut. Totem itu terdiri dari tiga figur besar yang bertindihan. Yang paling atas memiliki kepala seperti burung nasar namun ia memiliki tangan sejumlah sepuluh. Figur di bawahnya memiliki kepala manusia yang bermata tigabelas dan tak memiliki tangan. Yang paling bawah bertubuh besar dan berkepala serigala dengan kakinya yang menancap pada bumi. Ketika kudekati barulah aku sadar ternyata ada dua orang lagi di belakang orang yang bersujud itu. ‘Mengapa kau sembah berhala ini? Berhala apakah gerangan yang kau sembah?’, tanyaku pada si pesujud itu. Kini ia mengangkat kedua belah tangannya selayak orang yang tengah berdoa. ‘Ia adalah berhala hujan. Berhala kami memanggil hujan’, sahutnya. ‘Dengan sepuluh tangannya ia mengaduk-ngaduk langit menyarikan air. Dengan tiga belas matanya ia memilih siapa-siap yang pantas menerima air. Dengan kaki-kakinya yang senantiasa menusuk tanah ia menyalurkan air’, lanjutnya. ‘Mengapa kau memerlukan hujan?’, tanyaku lagi. Kini ia menyentuh tanah dengan keningnya. ‘Bukankah telah mengalir sungai di bawah sana untuk kalian gunakan?’, lanjutku. Laki-laki itu bangn dan menatapku: ‘Nenek moyang kami melakukannya sedari dahulu, sebelum pula kita mengenal waktu sebagai penanda segala. Oleh sebab itulah terlahir ke dunia keberadaban. Jangan kau hujat kami, wahai kau anak manusia yang suci dari nista. Takkah kau mengerti bahwasanya keberadaban terlahir dari air? Takkah kau lihat suatu budaya belum berfungsi bila tak ada air? Dan keberadaban kami kini di ambang hancur. Kebun-kebun dan ladang kami kering sebab air tak tertinggal dalam tanah saat kami menyirami tanaman kami. Belumkah jelas bagimu saat melihat tetumbuhan yang kami pelihara dan kami jagai telah koyak daunnya dan menjadi busuk akarnya sebab belalang-belalang telah berduyun-duyun datang dalam nafsu menggerogoti?’. Kulihat jauh kebelakang dan ladang mereka telah tak lagi tetanami apapun. ‘Ini adalah murka dari sesembahan kami. Maka kami mohon ampunananya guna diturunkannya pahala dan dilimpahinya kami perlindungan supaya tak lagi kami beroleh bencana. Sebab telah pula kami tanami tanah itu dengan benih-benih baru dan yakinlah kami bahwa dengan memohon padanya akan dihindarkannya kami dari kebencian alam’, ia menunjuk-nunjuk silih berganti ke arah ladang dan ke arah berhala besar itu.

Rasa sendu dalam dadaku mendadak pudar seketika setelah beberapa burung bangau warna jambon terbang lesat di atas berhala hujan tersebut dan berubah menjadi burung api yang konon dari abu sisa tubuhnya lahirlah kembang-kembang bidadari bidadara. Ada delapan ekor burung itu dan salah satunya menengadah ke udara sembari bersabda pada alam semesta raya: “Kalian para berdosa telah mengotori tanah ini. Tanah yang daripadanya tertumpahlah darah sang Malaikat paling beracun sedunia. Si Ular Besar yang dari perutnya keluarlah ribuan komet dan dari matanya terpencarlah api ke penjuru muka jagat raya. Si Berbisa yang melukai hati Tuhannya dan membuat-Nya tak berdaya. Kalian yang memuja si Muka Tiga dan menyembahnya seperti Tuhan kalian. Tak tahukah kalian bahwasanya murka Tuhanku telah terucap dan tak sadarkah kalian bahwasanya tak semestinya kalian bersaksi ingkar?”

Tak satupun orang di sekitarku ini mampu menatap burung pesabda itu dan menjadi pitamlah Tuhan pada mereka. Turunlah tanganNya kedunia dan dihembuskannya nyawa ke sesembahan hujan tersebut. Maka hiduplah berhala itu dan menjadi takutlah orang-orang itu sebab berhala pujaan mereka telah hidup dan membabi buta memamah benih-benih yang telah mereka tanam sebelumnya.

Sadarlah aku bahwasanya semua telah tak lagi sempurna bagi mereka dan oleh sebab itu segalanya tak lagi menjadi terlalu berarti. Tinggallah hanya runtuh doa dan gegar puja supaya diselamatkan mereka oleh segala tetuhan dan sesembahan mereka. Namun tak begitu gampang rupanya segala upaya yang dikerahkan mereka sebab barangkali tuhan telah bosan dengan umatnya yang ini lalu dibangunkannya berhala itu. Yang berujud burung nasar telah mengembara di langit yang sekarang menghitam. Tangannya sejumlah sepuluh menjulang ke atas dan menarik ribuan bulir hujan yang mengeras menjadi partikel besi lalu turun ke tanah dan membuat lubang-lubang sebab dengan kecepatan luar biasa, benda keras itu bisa menyebabkan luka. Yang berkepala serigala merekahkan bumi untuk kemudian melapangkan jalan bagi yang bermata tigabelas supaya dapat mematahkan manusia pada lehernya dan menghisap darah mereka hingga celaka.

Mereka bermuka putus asa, pada akhirnya. Satu dari mereka mulai menarik-narik rambutnya sampai luka kepalanya dan satu lagi dari mereka mulai menggosok-gosokkan punggungnya pada karang terdekat yang dijumpainya sementara satunya menggaruk matanya dengan gegap gempita. Sampai habis tubuh mereka lalu pakaian mereka hilang diterpa sepoi angin yang menderu.
Kini tanah itu telah tandus. Tinggallah totem itu berdiri dengan pongah di tengah-tengah tanpa menyisakan titik akan kejadian yang dilakukannya.
Tiba-tiba hari mendung. Awan berkelebat dan butir salju menjadi satu dengan buih arang turun dari langit. Menyambar kulitku dengan jumawa sehingga menjadi lepuhlah kulitku dan mengeranglah kerongkonganku. Lepuh itu menjalar dengan cepatnya dan lamat-lamat kudengar suara lengking tawa senang perempuan dengan tiga mahkota dikepalanya. Susunya keriput menjuntai dan sorot pada matanya mencerminkan kekhilafan masa lalu serta gerai rambutnya menggoyang keseimbangan udara di belakangnya. Turunlah ia dari langit dengan segenggam bulir gandum lalu mendekat Ianya padaku: ”Kau adalah satu-satunya dari kami yang mampu melindungi berhala dari murka yang kuasa. Kau adalah Luka pada tubuhNya. Kau adalah sembilu yang menyayat ragu-ragu... Bukti warna hitam dari sang surya.”
Siapa kau?
”Aku adalah Raja di Dunia. Yang memimpin angin menjadi ribut dan membuat mual para peziarah yang khusyuk pada sembahyang mereka. Aku adalah Raja di Dunia. Yang memegang kunci para Asyura. Membimbing mereka menjadi penggugah selera para pujangga dan mengkhianati hati mereka. Akulah Raja. Raja Dunia!”
Dilesakkannya bulir segenggam gandum pada tangannya tepat di bawah pusar perutku. Sehingga menjadi tengadahlah aku sebab sakitnya menjadi satu dengan kikih perempuan itu dan benciku tak mampu menyampai padanya. Rasi bintang berpindah... Matahari padam... Rembulan warna kuning menangis.... Dan pucat bintang warna tembaga.

Ada pohon pada remang lihat mata sembabku. Di bawahnya ada seorang cerdik pandai, kelak ia dinamai Pandita... Sebab ianya telah mencapai kebijaksanaan dalam pikiran dan kesempurnaan pada laku brata. Namun ia tak sendiri. Ada sekitaran delapanpuluh wanita di sekelilingnya. Mereka saling gandeng dan saling tukar lirik mata. Dari bau sekitar mereka terciumlah warna senggama. Warna erotik yang terus terang membuatku begidik. Ada lagu yang mereka gumamkan. Lagu pembuat surup yang tak pernah sekalipun berdampak pada Sang Pandita. Mereka melaju lurus tembus padang pada tubuhnya lalu lenyap di balik pohonnya.
Marah, mereka menatapku dengan putus asa: ”Kau! Kau KesayanganNya! Kau yang terlindungi dari murka Sodom dan Gomora. Kau yang lari saat Ia membalik kota itu ke dalam amarahnya. Kau! Kenapa hanya Kau yang diselamatkanNya?”
”Kalian membantu manusia berbuat pada zinah. Kalian membuat laki-laki menjadi tumpul matanya dan melihat laki-laki lain dengan cara yang sensual. Tidakkah menurut kalian hal itu menjadi salah dan pantaslah adanya Dia memberantakkan kota itu lalu meninggalkannya?”
”Tak ada yang salah dengan pergumulan erotis antara sesama, wahai Kau yang Maha DicintaiNya! Tak ada yang cacat akan itu sebagaimana tak ada yang rusak dari sistem semesta. Ia hanya marah. Ia hanya tak senang melihat manusia. Ia hanya menyesal membuat manusia. Ia hanya merasa salah dengan prakaryaNya. Ia hanya usil. Ia hanya cemburu dan tak suka. Namun apa hakNya membunuh dengan membabi-buta? Tidakkah Kau, wahai KekasihNya, berpikir bahwasanya Ia pun Maha Jahat sebagaimana Ia Maha Pengasih?”
Tentu tidak! – Ada keraguan sesugguhnya tersibak dalam dada tapi aku tidak akan jatuh pada mantra-mantra mereka: Mereka adalah sesuruhan para Iblis yang merasuk secara fiilosofis dan metafisis pada jiwa mereka-mereka yang gentar dan gamang. Namun aku tak getir dan tak kentir! Tak satupun dari teluh mereka akan merobek bentengku dan menggigit leherku dengan bisa mereka yang penuh nafsu. Salah satu dari mereka mengusap keningku dan menjadi mengantuklah aku seketika: ”Kami pernah menaklukkan kakekMu – Si Orang Pertama di Dunia, dan akan Kami lakukan lagi adanya hal tersebut. Demi menyambut Sang Raja. Sang Raja yang Utama. Yang akan membawa Manusia ke dalam pelukanNya dan mengajak Kalian, aduhai kutuklah atas nama Sang Mulia, menjadi tumbal atas semesta raya.”
Dimainkannya harpa yang dipegangnya dan terbanglah segala pepohon ke udara...

”Dan aduhai, Ingatkah Kau pada Pandora?”, ada bisik yang berdengung ke telingaku di ambang tidur... Aku ingat, gumamku... Kecantikannya yang anugerah rupa-rupa dewa. Namun ada satu yang sekiranya luput dari para penguasa untuk dihadiahkan padanya: Kebijakan hati. Aduhai, Pandora... Cantikmu seribu afrodisiaka. Rupamu serupa gembira dan hidungmu bangir gunung Etna... Tapi hatimu seperti celaka. Kuning busuk susuk kantil. Kudis kuno yang selamanya. Kau buka kotak itu. Kau tebar segala penyakit dan putus asa. Lalu di sinilah aku kini: di atas altar batu megalit. Batu kuarsa yang besarnya seperti sarkofagus. Ada ukiran bening di samping kanannya. Ukiran doa-doa pada Dispater sang Bapa...
Ada seseorang yang memakai jubah warna putih dan di tangannya ia membawa sebuah kotak berwarna kelabu, sperti biru pada mata kaki yang tertimpa batu. Dibukanya bajuku dan diruapinya denga asap dari dedupa dan bau kamfer pada hidungnya... Ia membaca mataku dari balik cadarnya yang bermotif penyu dan gurita: Sindrom Pandora! Kuinjeksikan padamu sari pati belulang Ia yang cantiknya rupa-rupa para dewa. Agar kau rasakan sakitnya kepingin tahu yang terlarang. Agar kau rasakan membuka kotak yang sebegitu terlarang bagimu dan kau keluarkan jutaan sakit dan putus asa, serta perih dan rasa murka.
Ditusuknya tanganku dengan jejarum yang karatnya telah lima ratus sepuluh tahun usianya dan menjadi demamlah aku. Menajdi melihatlah aku kepada jejalan surgawi yang terkilas warna kuning warna emas serta warna-warna gembira. Menjadi terlihatlah bagiku segalanya. Segala petir yang keluar dari murka para dewa. Rasa menang sang Bapa akan pengkhianatan manusia.

Kucabut jejarum tersebut...

Menjadi pusing rasanya kepalaku dan berubahlah menjadi arang mataku... Larilah aku ke padang pasir yang luasnya sehingga kuhabiskan waktuku kira-kira limapuluh tahun lamanya di sana. Tanpa air dan tanpa rasa makanan tersangkut pada lidahku. Lalu di tengah kesekaratanku kulihat ada rawa-rawa, di dekat dermaga sebelah selatan padang pasir yang dari lubang-lubangnya terkadang keluarlah kalajengking yang berwarna sumba dan sengatnya seperti sengat laba-laba. Seperti sengat binatang neraka. Di rawa-rawa itu kulihat seorang wanita muda berdiri di tengahnya. Ia memakai jubah warna hitam. Tangannya terangkat ke samping kanan dan kiri tubuhnya dan tubuhnya bergoyang seumpama mantera yang terucap dari mulutnya. Huruf-huruf keluar dari mulutnya dan tenggelam ke genangan air di sebelahnya. Lalu dari dalam genangan air itu keluarlah sebentuk manusia namun ia memiliki sebelah mata yang seperti kucing sementara sebelah matanya seperti mata gagak. Tangannya kurus dan kepalanya tanpa rambut. Keningnya mencelat dan hidungnya seperti melesak ke dalam. Perutnya perut ular. Perut rata tapi dingin. Perut jalar yang semayam. Ia menatapku dan terkekeh. Rupanya telah keluar pula sesaudaranya dar genangan-genangan air di sekitar tempat itu. Perempuan tadi yang kulihat di tengah rawa telah menggores tangannya denga pisau lalu di persilahkannya makhluk-makhluk tersebut menenggak segala cairan yang keluar daripada lukanya. Menyalaklah anjing di padang rumput. Menjadi kelamlah hari itu.

Perempuan itu membuka jubahnya. Hekate, itulah namanya. Perempuan yang mengawal keadaan liminal seseorang. Mengantarnya ke dalam sihir-sihir burung hantu dan tatapan sendu bunga perdu. Di tangannya terdapatlah Kallisti, apel terbesar secara historis mengingat peran pentingnya dalam perang Troya. Lalu mendekatlah ia padaku dan diserahkannya apel itu padaku. Kemudian berubahlah apel itu menjadi cermin, memantulkan bentuk asli sang perempuan: Tiga kepala, satu anjing hitam, satu kuda dan satu ular naga. Tersenyum ketiganya kepadaku dan hari-hari berubah seperti gambar-gambar pada layar yang dipercepat seratus kali.


Berikutnya kudapati diriku di tengah-tengah padang rumput. Angin hanyalah sedikit namun rambutku tetap terhembus kian kemari. Sebatang pohon ranggas di seberangku bergoyang. Di atasku, tepat diujung pohon itu, sepotong matahari telah hampir gerhana. Prominensanya mencuat ke pinggir-pinggir. Lalu hitam. Hitam segala dan gelap adanya. “Sebentar lagi Aku mati”, alam bergumam dan kupingku berdengung: Sebentar lagi Aku mati dan untukmulah hanya tersisa peradaban. Namun telah teramalkan oleh para tua-tua di jaman dahulu kala, sisi gelapKu akan datang padamu dan meneteskan darahnya ke mulutmu. Sehingga menjadi manis darahmu dan menjadi mabuk akalmu. Dan pada itulah, Kususun ulang para bintang, supaya dimampukannya kau meramalkan hari tepat BagiKu untuk mati dan memberimu sepotong dagingKu dan juga secangkir darahKu. Tujuh puluh dua jumlah bintang itu dan bagimulah setiaKu kelak tertuang. Sebentar lagi... Betul-betul sekejapan pada mata lagi, Aku akan mati...

Di pohon itu, pohon ranggas yang telah jutaan tahun menjadi pusat para dunia, berkumpullah tujuh puluh dua sosok menatapku. Dua puluh empat tersenyum. Dua puluh empat menatap nanar setengah menangis sementara dua puluh empat memandang hina tak suka.

No comments:

Post a Comment